REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat patut khawatir dengan impor komoditas garam yang ugal-ugalan, terutama menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. “Kita patut khawatir, ini ada kaitan menjelang 2019 di mana ada rente-rente yang bermain mencari uang menjelang pemilu,” kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara melalui telepon, Ahad (18/3).
Bhima mengatakan, impor yang ugal-ugalan ditambah data garam yang tidak sinkron akan menyulitkan pemerintah memetakan kebutuhan komoditas strategis. Dia pun menyarankan pemerintah membenahi data.
“Kemenperin salah juga. Data itu hanya boleh dikeluarkan BPS, baik kebutuhan industri maupun rumah tangga. Kasus ini sama kejadiannya dengan komoditas strategis lain seperti beras, seolah tidak ada yang sama,” kata Bhima.
Dia menambahkan data produksi garam yang simpang siur ini menunjukkan persoalan lain terkait dengan komoditas garam, yakni kebijakan bersama tidak berjalan. Dia menuturkan adanya perbedaan data yang jauh sekali menunjukkan kata kunci persoalan ini, yaitu ego sektoral yang tidak selesai.
Dia mendorong semua pihak harus berpegang pada data BPS, jangan pada data yang dipegang oleh masing-masing sektor. Dia juga berpendapat Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan harus bersama membuat rencana tahunan.
“Jangan ada ego sektoral dan semua pembicaraan harusnya selesai di tingkat kementerian koordinator,” ujar Bhima.
Pemerintah punya peta jalan yang menargetkan impor garam ditekan. Namun, menurut Bhima, ego sektoral membuat rencana pemerintah berubah-ubah setiap tahun.
Dia mengatakan perubahan tersebut membuat industri menjadi khawatir. Hal ini salah satu berdampak pada munculnya usulan agar impor mengesampingkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). “Masalah seperti ini berulang untuk jagung dan beras,” kata Bhima.
Padahal, dia menerangkan, KKP seharusnya tetap dilibatkan dalam perizinan impor karena berkaitan dengan nasib petambak garam lokal. Dia menambahkan, pelibatan KKP dalam impor garam sebagai hambatan non-tarif atas impor yang kebablasan.
Sebab, Bhima menyatakan, pemerintah tidak bisa selalu memfasilitasi industri dan terus membiarkan garam dari petambak lokal tidak diserap dan tidak dihargai. Dia menyebutkan kondisi ini membuat jumlah petambak garam terus berkurang signifkan karena beralih profesi. Sampai 2015, ada sekitar 9.600 petambak garam yang beralih profesi dalam lima tahun terakhir.
Dia berpendapat, program pemberdayaan petambak garam dari KKP juga menjadi percuma kalau hasil produksi petambak garam tidak diserap industri. Di sisi lain, industri tidak mau peduli dan mengancam berhenti produksi kalau kebutuhan garamnya tidak dipenuhi.
Sebelumnya, pemerintah mengembalikan kewenangan rekomendasi impor garam industri kepada Kementerian Perindustrian melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. Pemerintah mengklaim penerbitan PP ini juga sesuai dengan UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang perindustrian yang menjamin adanya ketersediaan bahan baku untuk keberlangsungan produksi.
KKP sempat mengeluarkan rekomendasi impor garam industri hanya sebanyak 1,8 juta ton sementara kebutuhan untuk industri mencapai 3,7 juta ton. Pemerintah kemudian mengeluarkan rekomendasi impor garam industri sebanyak 2,37 juta ton yang dikeluarkan secara bertahap sesuai kebutuhan 21 perusahaan. Namun, jumlah impor garam tersebut belum memadai sehingga pemerintah mengeluarkan PP agar kebutuhan garam industri bisa dipenuhi segera melalui impor.