REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sektor perbankan dinilai masih mengalami konsolidasi. Hal itu, merefleksi kondisi sektor perbankan pada 2017, sehingga permintaan kredit pun cenderung tumbuh single digit dan masih lemah.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, masih lemahnya permintaan kredit perbankan juga terindikasi dari pertumbuhan undisbursed loan pada akhir 2017 yang mencapai 8 persen dari akhir 2016 yang mencapai 6,9 persen.
"Rendahnya permintaan kredit perbankan juga mengindikasikan bahwa ekspansi beberapa sektor riil masih rendah," ujarnya kepada Republika.co.id.
Ia menyebutkan, dengan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,2 persen sampai 5,3 persen pada 2018. Maka pertumbuhan kredit diperkirakan membaik di kisaran 9 persen sampai 11 persen pada akhir tahun ini.
Ekspektasi kenaikan pertumbuhan kredit pada tahun ini, menurutnya juga diperkuat oleh tren penurunan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang pertumbuhannya melambat menjadi 2,8 persen pada akhir 2017 dari tahun sebelumnya yang masih tumbuh hingga 34 persen.
"Penurunan laju CKPN juga akan mengindikasikan bahwa supply kredit juga akan mulai berekspansi pada tahun ini," kata Josua.
Jadi untuk tetap mendorong laju pertumbuhan kredit perbankan, industri perbankan dinilai perlu mempercepat restrukturisasi kredit yang bermasalah. Terutama pada beberapa sektor seperti pertambangan serta perdagangan.
Dirinya mengatakan, perbankan perlu pula mengelola sekaligus meningkatkan kondisi likuiditasnya. Dengan begitu jika sudah ada sinyal peningkatan permintaan kredit dari sektor riil, maka penyaluran kredit dapat berjalan secara optimal dengan tingkat suku bunga kompetitif bagi sektor riil.
Selain masih terbatasnya permintaan kredit, kata dia, tingkat risiko kredit beberapa bank juga masih relatif tinggi, terutama bank-bank yang masuk dalam buku I dan II. Kondisi likuiditas yang tidak merata pun tidak merefleksikan ekspektasi pertumbuhan kredit yang tidak merata.
Sementara itu, bank-bank yang masuk dalam buku IV cenderung memiliki likuiditas besar. "Didorong pula oleh permintaan kredit yg cukup besar khususnya dalam rangka pembiayaan proyek infrastruktur prioritas pemerintah pusat," kata Josua.
Di sisi lain, beberapa bank yang masuk dalam buku I dan II cenderung terkontraksi maka bank-bank tersebut juga memproyeksikan pertumbuhan kredit lebih rendah dibandingkan bank buku IV yang memiliki pertumbuhan kredit dua digit. Hal itu pun mengingat tingkat kredit bermasalah atau NPL tinggi karena konsolidasi sektor riil.
"Pada tahun ini, dengan mengasumsikan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari tahun lalu. Maka kebutuhan pembiayaan sektor riil pun semakin besar," katanya.