REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pembentukan holding migas yang diinisiasi oleh Kementerian BUMN dirasa masih banyak celah kesalahan. Ada beberapa alasan mengapa holding migas yang meleburkan dua perusahaan besar Pertamina dan PGN belum bisa direalisasikan.
Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen, Agus Pambagio, menilai ada beberapa alasan holding migas masih mengalami kekurangan dan belum siap dilakukan. Pertama, dari aspek hukum kata Agus penggabungan saham antara PGN dan Pertamina dalam bentuk penambahan penyertaan modal pemerintah merupakan langkah inkonstitusional.
"Penghapusan BUMN di sektor yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu PGN yang semula adalah BUMN di sektor gas berubah menjadi PT akan menghilangkan penguasaan negara dengan tidak adanya kepemilikan secara langsung," kata Agus Jumat (9/3).
Kedua, Agus menilai dengan adanya holding migas maka ada potensi konflik kepentingan dalam tubuh holding migas. Sebab, menurutnya Pertamina yang selama ini merupakan perusahaan bisnis yang bergerak disektor minyak masih menggantungkan 60 persen kebutuhan dalam negeri melalui Impor. Sedangkan gas bumi yang menjadi inti bisnis PGN, sangat banyak dimiliki oleh bumi Indonesia namun belum dimanfaatkan optimum untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Dengan penggabungan pengelolaannya di satu tempat, maka tidak akan optimum karena penambahan pemanfaatan gas bumi berarti pengurangan pemanfaatan minyak bumi, pengurangan market share dan penurunan kinerja pengelolaan minyak," ujar Agus.
Ketiga, ia menjelaskan bahwa konsep holding migas masih bertentangan dengan Revisi UU Minyak dan Gas Bumi yang saat ini sedang digodog oleh DPR RI. Ia menilai, perbedaan konsep ini bisa menimbulkan konflik.
"Dengan pembentukan holding BUMN migas saat ini tanpa menunggu arah dari revisi UU Migas tersebut, dapat menyebabkan inefisiensi nasional karena diperlukan penyesuaian kelembagaan yang cukup rumit," kata Agus.