Jumat 09 Mar 2018 18:45 WIB

Guru Besar IPB: Data Pangan Harus Jujur

Produksi padi di tanah air dalam 16 tahun terakhir tidak selalu naik.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kanan), Menteri BUMN Rini Soemarno (kiri) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar (kedua kiri) memperhatikan petani memanen jagung saat panen raya jagung di Perhutanan Sosial, Ngimbang, Tuban, Jawa Timur, Jumat (9/3).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kanan), Menteri BUMN Rini Soemarno (kiri) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar (kedua kiri) memperhatikan petani memanen jagung saat panen raya jagung di Perhutanan Sosial, Ngimbang, Tuban, Jawa Timur, Jumat (9/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Persoalan data pangan hingga kini belum tuntas. Padahal data tersebut diperlukan pemerintah untuk mengambil kebijakan strategis nasional.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas mengatakan, perbaikan data pangan perlu segera dilakukan atas dasar kejujuran. "Kejujuran dari bawah sampai ke atas. Kalau dari bawah sampai ke atas jujur semua ya aman. Kalau satu saja tengahnya nggak jujur ya datanya nggak karuan," ujar dia saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (9/3).

Ia menambahkan, berdasarkan data yang dimilikinya sejak 2011 hingga 2016 ditemukan selisih yang cukup besar. Selisih ini pun telah dilaporkan ke pemerintah sebagai bahan koreksi.

 

Baca juga, Wapres Akui Data Pangan Bermasalah.

 

Sebenarnya, ia melanjutkan, produksi padi di tanah air dalam kurun waktu 16 tahun terakhir jika jujur tidak melulu mengalami kenaikan. "Naik turun saja. Jadi produksi padi di tahun 2001 dengan produksi padi di tahun 2017 itu sebenarnya hampir sama saja," ujarnya.

Sebaliknya, kalau melihat data pangan yang ada, terjadi kenaikan terus tiap tahun. Itu artinya, selisih data pangan yang ada dengan kenyataan di lapangan setiap tahun semakin lama kian membengkak.

Sinergi antara kementerian sektoral dengan Badan Pusat Statistik (BPS) selama ini telah terjalin baik hingga 2015. Namun sinergi yang bersifat kompromistis karena 75 persen data yang dipublikasi BPS diolah dari sektoral.  Sementara BPS  hanya 25 persen. "Sehingga data sektoral ini terlalu mendominasi dan ini kelemahan di kita," tegas dia.

Untuk itu, kelembagaan BPS harus diperkuat termasuk pendananya agar mampu menghasilkan data secara mandiri, terutama untuk data-data yang sangat penting. Tanpa adanya intervensi pihak lain dalam hal ini sektoral.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement