Senin 26 Feb 2018 15:55 WIB

Konsultasi Syariah: Fikih Uang Muka

Uang muka dipandang sebagai pengikat.

Pakar Fiqih Muamalah Ustadz Oni Sahroni saat memaparkan penjelasan pada kegiatan Kajian Ahad Pagi dengan tema  Pesan Makanan via Jasa Transportasi Online Menurut Fikih Islam di Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Ahad (18/2).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pakar Fiqih Muamalah Ustadz Oni Sahroni saat memaparkan penjelasan pada kegiatan Kajian Ahad Pagi dengan tema Pesan Makanan via Jasa Transportasi Online Menurut Fikih Islam di Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Ahad (18/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Diasuh Oleh:  DR ONI SAHRONI MA, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

 

Pertanyaan: 

Assalamualaikum wr wb.

Pak Ustaz, dalam beberapa transaksi jual beli tidak tunai, seperti murabahah, istishna’, dan jual beli angsuran lainnya baik melalui bank syariah, leasing syariah, ataupun personal, pihak penjual mensyaratkan sejumlah uang tertentu sebagai down payment (DP) atau uang muka. Bagaimana hukum uang muka ini? Mohon penjelasan Ustaz.

 

Wassalamualaikum wr wb. 

 

Ahmad (Jakarta)

 

 

Waalaikumsalam wr wb.

Menurut Bank Indonesia, uang muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari nilai pembelian properti atau harga kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah. Hal ini seperti diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/16/PBI/2016.

Seorang penjual mensyaratkan kepada pembeli untuk menyerahkan sejumlah nominal uang tertentu kepada penjual sebagai uang muka. Besaran DP sendiri sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Dalam PBI Nomor 18/16/PBI/2016 disebutkan rasio FTV (financing to value) untuk pembiayaan properti berdasarkan akad murabahah dan akad istishna’ untuk fasilitas pertama ditetapkan bahwa pembiayaan rumah tapak dengan luas bangunan di atas 70 meter persegi paling tinggi sebesar 85 persen.  

Menurut fikih (syariah), syarat uang muka adalah sah dan mubah. Oleh karena itu, salah satu pihak yang bertransaksi, seperti penjual dalam jual beli, pihak yang menyewakan dalam sewa manfaat, dan lainnya boleh mensyaratakan kepada pembeli atau penyewa untuk menyerahkan uang muka. Jika telah disepakati maka uang muka menjadi mengikat dan wajib ditunaikan oleh pembeli dan penyewa. Dan sebaliknya, jika tidak disyaratkan maka pembeli atau penyewa tidak berkewajiban menyerahkan uang muka.

Oleh karena itu, uang muka dijadikan salah satu tanda keseriusan untuk bertransaksi (hamisy jiddiyah). Jika transaksi jadi dilaksanakan maka menjadi harga beli. Dan jika terjadi pembatalan yang dilakukan oleh pembeli maka yang dipotong adalah sebesar kerugian riil yang dialami oleh penjual (tidak hangus).

Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa kaidah. Uang muka diperbolehkan menurut fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) dan standar syariah internasional AAOIFI di Bahrain.  

Fatwa DSN MUI menegaskan, dalam akad pembiayaan murabahah, lembaga keuangan syariah (LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua  belah pihak bersepakat. Besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan. Jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut. Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah. Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah. (Fatwa DSN MUI Nomor 13/DSN- MUI/IX/2000 tentang uang muka dalam murabahah).

Hal yang sama ditegaskan dalam standar syariah AAOIFI. Yakni, lembaga keuangan syariah boleh untuk mengambil sejumlah uang tunai tertentu yang harus dibayarkan oleh nasabah untuk memastikan kemampuan finansial nasabah dan kemampuan nasabah untuk mengganti kerugian riil pada saat nasabah melanggar janjinya untuk melangsungkan akad.

Oleh karena itu, lembaga keuangan syariah tidak membutuhkan untuk meminta sejumlah uang tertentu kepada nasabah, tetapi kerugian tersebut diambil dari uang muka tersebut. Down payment dikategorikan sebagai hamisy jiddiyah atau tanda  keseriusan untuk melakukann transaksi. (Standar syariah internasional AAOIFI No 8 tentang Al-Murabahah lil Amir Bisy-syira).

Dari aspek maqashid syariah, uang muka dipandang sebagai pengikat (lil istisyaq) untuk memastikan bahwa nasabah yang mengajukan pembiayaan  itu mampu secara finansial untuk menunaikan kewajibannya kepada LKS atau pihak lainnya. 

Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa uang muka boleh dipersyaratkan. Jika uang muka disepakati dalam akad maka wajib ditunaikan. Jika transaksi jadi dilaksanakan maka menjadi harga beli. Dan, jika terjadi pembatalan maka dipotong sebesar kerugian riil yang dialami oleh penjual.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement