REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonomi digital dinilai tidak akan langsung membuat perubahan terhadap teknis dan teknologi kerja. Hal itu menanggapi kekhawatiran Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional terkait dampak ekonomi digital yang dapat menghilangkan beberapa pekerjaan karena adanya automasi.
Pengamat E-commerce dan Siber dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Kun Arief Cahyantoro menjelaskan, perubahan yang terjadi hanyalah pola bisnis keuangan dan metode pemasarannya. "Jadi efek negatif berupa pengangguran hanya akan berdampak pada bagian kecil dari perusahaan yaitu bagian keuangan dan marketing," ujarnya kepada Republika.co.id, Senin, (26/2).
Menurutnya, pemerintah melalui jalur akademisi seharusnya mulai bisa memberikan wawasan baru atas perubahan pola dan metode tersebut. Misalnya dengan memasukkan konsep-konsep bisnis ekonomi digital ke dalam kurikulum pendidikan dan sebaiknya dimulai dari jenjang sekolah menengah atas.
Kondisi banyaknya pengangguran, kata dia, hanya ketakutan yang berlebihan terutama dari para pebisnis ritel yang cenderung reluctant terhadap perubahan zaman dan teknologi. "Jadi tidak perlu ditakutkan jika para pebisnis ritel tersebut mau untuk belajar dan beradaptasi dengan perubahan," tegas Kun Arief.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyatakan, ekonomi digital bisa memperburuk ketimpangan. Hal itu karena, ada orang yang cepat mengikuti perkembangan digital dan sukses. Sedangkan ada pula yang justru tidak bisa mengikuti.
Maka, ia menegaskan, bila tidak segera disikapi akan semakin banyak pengangguran. "Di sini dilema ekonomi digital, karena akan banyak pekerja yang harus bersaing ketat tidak hanya dengan sesama manusia tapi juga dengan mesin," tutur Bambang.
Dirinya menyebutkan, sebanyak 52,6 juta pekerjaan di pasar kerja Indonesia berpotensi diganti oleh automasi seperti mesin atau pun robot. "Hal itu sangat mungkin terjadi di masa depan," kata dia.