Kamis 15 Feb 2018 20:53 WIB

BI: Pelemahan Rupiah Dipengaruhi Kenaikan Bunga di AS

BI akan selalu ada di pasar dan meyakini nilai tukar mencerminkan fundamental ekonomi

Rep: Binti Sholikah/ Red: Budi Raharjo
Dewan Gubernur Bank Indonesia melaksanakan konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 14-15 Februari 2018, di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (15/2).
Foto: Republika/Binti Sholikah
Dewan Gubernur Bank Indonesia melaksanakan konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 14-15 Februari 2018, di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (15/2).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bank Indonesia menyatakan pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi sejak beberapa pekan terakhir dipengaruhi oleh kondisi global terutama dari Amerika Serikat. Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Martowardojo, mengatakan, sampai dengan Rabu (14/2), nilai tukar rupiah ada di kisaran Rp 13.620 per dolar AS.

 

Secara year to date (ytd) terjadi depresiasi sekitar 0,46 persen. Sebelumnya, dari awal tahun sampai akhir Januari ada penguatan rupiah kemudian terjadi pelemahan. Agus menyatakan pelemahan itu sebetulnya lebih dikarenakan pengaruh perkembangan di AS.

Pada kuartal IV 2017, secara rata-rata harian rupiah melemah sebesar 1,51 persen menjadi Rp 13.537 per dolar AS. Namun, rupiah kembali menguat sebesar 1,36 persen menjadi Rp 13.378 per dolar AS pada Januari 2018. Penguatan tersebut didorong oleh aliran modal asing yang kembali masuk sejalan dengan persepsi positif investor terhadap perekonomian domestik dan penguatan mata uang kawasan.

Namun, pada awal Februari 2018, meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global khususnya terkait dengan ekspektasi kenaikan suku bunga AS (FFR) yang lebih tinggi dari perkiraan memberikan tekanan pada mata uang global, termasuk rupiah.

"Dan perkembangan di AS berdampak pada hampir seluruh mata uang di dunia termasuk negara berkebang salah satunya Indonesia," jelasnya dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (15/2).

Agus menjelaskan, perkembangan ekonomi AS terutama dipengaruhi peraturan pajak baru. Selain itu, perbaikan ekonomi AS yang ditandai kemajuan investasi, konsumsi dan peningkatan lapangan kerja membawa tren ekonomi AS yang membaik. Bank Indonesia juga mengikuti diskusi dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Sentral AS atau FOMC meeting yang mengungkapkan ada kemungkinan FFR bisa naik tiga kali selama 2018 dan kemungkinan bisa lebih dari tiga kali.

"Kalimat FOMC itu diduga ada kemungkinan lebih dari tiga kali. Ini yang membuat kondisi terjadi instability di sistem keuangan. Semua melihat ini periode di negara maju bunga cenderung meningkat," terang Agus.

Menurut Agus, kondisi tersebut juga dialami negara-negara maju yang pada 2018 diperkirakan akan menaikkan suku bunga. Setelah era suku bunga murah yang sejak 2009 sampai 2015 diperkirakan sekarang akan mengarah pada tingkat bunga meningkat khususnya negara maju. Hal tersebut akan berdampak pada Indonesia.

 

Sejauh ini suku bunga AS diperkirakan dinaikkan pada Maret, Juni dan Desember. "Menjelang Maret atau menjelang Juni nanti pasti akan terjadi volatilitas dan ini terjadi pada Indonesia," ujar Agus.

Agus menekankan, Bank Indonesia akan terus mewaspadai meningkatnya risiko ketidakpastian pasar keuangan global. Bank Indonesia tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar agar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar

"Bank Indonesia akan selalu ada di pasar dan akan meyakini nilai tukar mencerminkan fundamental Indonesia dan Bank Indonesia akan hadir kalau seandainya itu tidak sejalan dengan fundamental," imbuh Agus.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, menyatakan, nilai tukar rupiah pada Januari mengalami apresiasi karena di seluruh dunia banyak aliran modal masuk ke negara emerging market. Saat itu, mata uang dolar AS banyak melemah di dunia. Sedangkan Rupiah pada Januari menguat dan mata uang negara lain juga menguat.

Namun, setelah data-data AS terbit seperti sektor tenaga kerja menguat juga ifnlasi lebih kuat dari perkiraan. Maka kemudian pelaku pasar surprise dengan data-data AS. Hal itu ditambah AS menurunkan pajak artinya defisit anggaran AS akan meningkat.

Kedua faktor tersebut membuat pasar melakukan adjusment, yang semula memperkirakan FFR naik tiga kali mereka memperkirakan naik empat. Kemudian dari US Treasury yang tadinya bergerak 2,2 persen menjadi sekitar 2,8 persen sampai 2,9 persen. "Hal ini ada adjustmen di pasar dan berdampak pada kurs hampir di seluruh dunia. Dan kurs melemah terhadap dolar AS," terang Mirza.

Mirza menambahkan, pada Januari dolar AS melemah kemudian pada Februari dolar AS menguat. Sampai 9 Februari secara month to date rupiah melemah 1,76 persen, Rusia melemah 3,8 persen, Turki 1,8 persen, Brasil 3,4 persen, Singapura 1,3 persen, Korea 1,5 persen, dan India 1,3 persen. "Yang mengalami pelemahan terhadap dolar itu berbagai currency di dunia," ujar Mirza.

Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Erwin Rijanto, menyatakan, naik turunnya nilai tukar lebih banyak dipengaruhi kondisi global. Pada Januari nilai tukar rupiah mengalami penguatan kemudian Februari ada tekanan.

"Tapi hari ini ada penguatan cukup besar, ditutup Rp 13.550 per dolar AS. Itu terjadi penguatan 0,51 persen atau 69 rupiah dibandingkan penutupan kemarin. Itulah pasar. Yang terjadi saat ini memang dolar yang sebenarnya menguat dibandingkan mata uang di dunia," papar Erwin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement