Rabu 14 Feb 2018 19:43 WIB

Perekonomian Kurang Ciptakan Lapangan Kerja

Kenaikan angka pekerja baru juga disebut masih memunculkan tanda tanya

Diskusi Ekonomi Indonesia di Tahun Politik di DPP PAN, Rabu (14/2). Hadir Ekonom Aviliani, Ketua KADIN Rosan Roeslani, Mantan Menko Maritim Rizal Ramli dan Anggota Dewan Kehormatan DPP PAN Dradjad H. Wibowo.
Foto: republika/amri amrullah
Diskusi Ekonomi Indonesia di Tahun Politik di DPP PAN, Rabu (14/2). Hadir Ekonom Aviliani, Ketua KADIN Rosan Roeslani, Mantan Menko Maritim Rizal Ramli dan Anggota Dewan Kehormatan DPP PAN Dradjad H. Wibowo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Dradjad Wibowo mengatakan bahwa perekonomian Indonesia masih kurang menciptakan lapangan kerja. Sejumlah angka kenaikan juga memunculkan tanda tanya.

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia kita tahu masih stagnan pada level sekitar 5 persen. Tapi bukan hanya itu yang perlu diperbaiki pemerintah. Kemampuan perekonomian menciptakan lapangan kerja juga masih lemah," kata Dradjad, dalam diskusi KPPN DPP PAN, Rabu (14/2).

Hal ini, menurut Dradjad, dilihat dari variable: berapa jumlah tambahan orang yang bekerja untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi. "Variable ini dulu saya sebut 'elastisitas penciptaan kerja'. Mungkin terminologi yang lebih tepat adalah rasio penciptaan kerja," kata Dradjad Wibowo.

photo
Tambahan jumlah penduduk bekerja terhadap pertumbuhan ekonomi

Dijelaskannya, data untuk tahun 2004-2017 yang dihitung dari data BPS. Tambahan jumlah penduduk yang bekerja mencapai angka tertinggi tahun 2012, yaitu 3,55 juta. Lalu tahun 2008 (3,54 juta) dan 2007 (3,44 juta). Pada tahun 2014-2016, angkanya turun ke sekitar 1,4-2 juta pekerja baru.

Menurut Dradjad, pada tahun 2017 angkanya naik tajam ke 3,25 juta. "Namun angka ini mengundang pertanyaan. Karena, pertama, dilihat secara sektoral, tambahan terbesar lagi-lagi diperoleh dari sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan. Jumlahnya 1,09 juta pekerja baru," papar anggota Dewan Kehormatan PAN ini.

Masalahnya, menurut Dradjad, sektor ini meliputi pekerjaan seperti pembantu rumah tangga, tukang cukur, kaki lima. Dan yang agak formal, seperti pekerja sosial. "Ini jelas bukan sektor yang seharusnya menjadi penopang penciptaan kerja," ungkap Dradjad.

Sektor perdagangan (termasuk rumah makan dan perhotelan) dan sektor industri, menurut Dradjad, tercatat menciptakan pekerjaan tambahan di atas 1 juta. Yaitu masing-masing 1,05 juta dan 1,03 juta. Namun, sektor ritel anjlok dan industri manufaktur padat karya banyak yang kesulitan. Padahal mereka banyak menciptakan lapangan kerja. "Jadi agak aneh kalau kedua sektor ini mencatat tambahan pekerjaan yang besar," kata Dradjad.

Kedua, lanjut Dradjad, dilihat dari variabel “rasio penciptaan kerja”. Data menunjukkan, tahun 2015-2016 perekonomian hanya menciptakan sekitar 290-340 ribu per 1 persen pertumbuhan. Padahal jika situasi normal, angkanya seharusnya bisa pada level 500 ribu per 1 persen pertumbuhan ekonomi.

"Artinya, ekonomi Indonesia bukan hanya stagnan pertumbuhannya, tapi kemampuan penciptaan kerjanya juga di bawah normal," ungkapnya.

Tahun 2017, rasio ini melonjak ke level 640 ribu per 1 persen pertumbuhan. "Terus terang saya heran dengan angka ini. Angkanya terlalu tinggi, bahkan untuk ukuran masa Orde Baru sekalipun, di mana pembangunan lebih terkendali."

Selain itu, kata Dradjad, disebut sumber terbesarnya dari sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan. Banyak pekerjaan dalam sektor ini yang kurang layak sebenarnya. Sementara, besarnya angka penciptaan kerja dari perdagangan dan industri kurang sesuai dengan situasi lapangan.

"Jadi, memang kemampuan penciptaan kerja masih di bawah normal. Padahal kalau kita hendak mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan, kuncinya ya kita harus mampu menciptakan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini perlu diperbaiki segera," ungkap politikus PAN ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement