Ahad 04 Feb 2018 20:19 WIB

Genjot Ekspor, Pemerintah Harus Dorong Hilirisasi Industri

Salah satu cara pemberian skema kredit khusus bagi industri yang berorientasi ekspor.

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Citra Listya Rini
Ketua Kadin Rosan P Roeslani.
Foto: Republika/Debbie Sutrisno
Ketua Kadin Rosan P Roeslani.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekspor selama 2018 dapat meningkat sebesar 11 persen dibanding tahun lalu. Ekonom dari institute for development of economics and finance (Indef) Bhima Yudistira menilai, target tersebut akan sulit tercapai jika pemerintah hanya mengandalkan ekspor dari komoditas mentah, seperti yang selama ini terjadi.

Sebab, pertumbuhan ekspor menjadi sangat tergantung pada fluktuasi harga komoditas tersebut di pasar global. Menurut Bhima, untuk memacu pertumbuhan ekspor, pemerintah harus giat mendorong hilirisasi industri. Salah satu caranya dengan memberikan skema kredit khusus bagi industri yang berorientasi ekspor. "Intinya, harus keluar dari rutinitas. Hilirisasi industri juga kunci dorong nilai ekspor," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (4/2).

Lebih lanjut, Bhima mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah memberikan insentif potongan PPh badan sebesar 30 persen selama enam tahun, atau lima persen setiap tahun bagi industri yang memenuhi syarat tertentu. Namun begitu, ia menilai, model insentif yang diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian No 1 tahun 2018 tersebut cakupannya masih terbatas sehingga perlu dilakukan perluasan.

Senada juga disampaikan oleh Ketua Umum kamar dagang dan industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani. Ia menyebut, jika ingin meningkatkan pertumbuhan ekspor, maka industri manufaktur di Tanah Air harus diperkuat. "Kalau kita tidak punya industri manufaktur yang kuat, pasti akan tersalip dengan negara lain," kata Rosan.

Selain itu, ia juga menyoroti hambatan ekspor lain, yakni tingginya tarif bea masuk yang membuat produk Indonesia tidak kompetitif. Rosan mencontohkan, ekspor produk CPO Indonesia ke Turki turun drastis dari 360 juta dolar AS menjadi hanya 60 juta dolar AS dalam kurun waktu dua tahun.

Menurut dia, hal itu terjadi karena Turki beralih membeli CPO dari Malaysia. Sebab, kedua negara memiliki perjanjian dagang bebas yang membuat hambatan tarif dapat dihilangkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement