REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang penggunaan Bitcoin termasuk di lembaga keuangan, tapi tetap mendorong inovasi teknologi di industri. Pelarangan itu karena manfaat uang digital masih belum terlihat.
Direktur Inovasi Keuangan Digital OJK Fithri Hadi mengatakan, OJK imbau lembaga keuangan tidak memakai uang digital dalam hal ini Bitcoin karena manfaatnya belum terasa dan para pihak yang terlibat masih sangat tertutup. Maka kalau terjadi pembalikan harga, keluhan masyarakat akan disalurkan ke pemerintah.
''Kami tidak akan mendorong instrumem yang tidak jelas siapa penanggung jawabnya,'' ungkap Fithri dalam diskusi terfokus tentang uang virtual di Cikini, Jakarta pada Kamis (25/1),
Namun, OJK menutup kesempatan industri berinovasi. Kalau ada inovasi bermanfaat selain Bitcoin, OJK terbuka berdialog. Apalagi Indonesia masih mencari solusi atas masalah inklusi, literasi, dan transparansi keuangan.
Bitcoin memakai teknologi blockchain. Banyak yang bereksperimen pada penggunaan blockchain. Misalnya untuk memvalidasi letter of credit (LC) yang banyak dipalsukan. Hal ini membuat proses ekspor impor lebih efisien. Untuk teknologi blockchain yang bermanfaat, OJK bisa mendorong.
Prinsip OJK dalam mengelola inovasi digital adalah perkembangan digital harus ada manfaatnya, inovasi yang bertanggung jawab, berkeadilan, independen, efisien, dan melindungi konsumen. Dengan perkembangan saat ini, OJK tidak mungkin memproteksi konsumen dengn cara lama. Maka transparansi jadi cara proteksi.
''Mereka yg akan keluarkan instrumen keuangan harus transparan,'' ucap Fithri.
Motif pembelian Bitcoin lebih karena capital gain tanpa ada yang bisa menjelaskan pemicu naiknya harga uang digital ini. Pembentukan harga dinilai Fithri hanya faktor permintaan dan pasokan dimana para pemegang bitcoin berharap ada demand baru.
Dengan fluktuasi tinggi, OJK melihat tidak bijak investor menengah kecil masuk ke sana. ''OJK mengimbau investor hati-hati,'' kata Fithri.