Kamis 25 Jan 2018 14:12 WIB

Asosiasi Asuransi Syariah Mulai Bahas Spin Off Unit Usaha

Jumlah pelaku asuransi syariah meningkat signifikan.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Nur Aini
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia membahas peta jalan atau roadmap pemisahan (spin off) Unit Usaha Syariah yang ditarget bisa terlaksana pada 2020 mendatang.

Direktur Eksekutif AASI, Erwin Noekman, mengatakan, ketika pertama kali asuransi syariah hadir di tanah air 24 tahun yang lalu, para pelaku saat itu masih mengandalkan best practice dari negara tetangga. Namun seiring waktu, regulator menunjukkan keberpihakan yang sangat baik dengan terbitnya aturan-aturan yang secara khusus mengatur asuransi syariah.

Salah satunya, aturan mengenai pemisahan unit syariah dengan batas waktu paling lambat 2024. "Terkait dengan hal tersebut, paling lambat 2020, setiap unit syariah wajib sudah menyampaikan roadmap tentang pemisahan unit syariah tersebut," kata Erwin melalui siaran pers, Kamis (25/1).

Erwin menyebut, jumlah pelaku asuransi syariah meningkat signifikan. Pada akhir 2004 tercatat baru 18 perusahaan (full-fledge dan unit syariah) yang mendapatkan izin usaha dari OJK. Hingga akhir 2017 tercatat sebanyak 63 perusahaan (full-fledge dan unit syariah).

Informasi yang beredar di pasar menunjukkan peminatan pemodal baik dari luar negeri maupun dalam negeri yang masih ingin membuka unit syariah maupun mendirikan perusahaan full-fledge. "Pertumbuhan jumlah ini menunjukkan sebuah keniscayaan adanya potensi pasar yang masih belum tergarap dengan sempurna," ujarnya.

Berdasarkan data OJK, sampai dengan akhir November 2017, tercatat asuransi syariah telah membukukan aset sebesar Rp 38,67 triliun. Posisi aset tersebut tumbuh 18,84 persen dibanding posisi yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan kontribusi (premi) bruto dibukukan sebanyak Rp 12,31 triliun, menunjukkan kenaikan sebesar 12,82 persen.

Beberapa potensi pasar yang masih membuka peluang bagi pelaku usaha antara lain pangsa pasar Muslim yang besar. Dengan jumlah Muslim sebanyak 230 juta atau sekitar 87 persen dari total seluruh penduduk Indonesia, hal ini menjadi market based yang sangat potensial. "Hal lainnya seperti pengembangan pariwisata halal dan lembaga bisnis syariah," ujarnya.

Ke depan, kata Erwin, dengan berbagai tantangan yang dihadapi, industri asuransi syariah memerlukan beberapa strategi khusus untuk menanggulanginya. Persiapan dan kesediaan sumber daya manusia yang andal, inovasi produk, dan penggunaan teknologi menjadi hal utama yang wajib menjadi perhatian bagi seluruh pelaku industri.

Khusus mengenai penggunan teknologi finansial (financial technology/fintech) dan digitalisasi di asuransi syariah di era milenial juga menjadi sebuah keniscayaan. "Pengembangan fintech syariah dapat digunakan dan dikembangkan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah syariah," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement