REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, jumlah utang pemerintah pusat hingga akhir 2017 mencapai Rp 3.938 triliun atau 29,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Total utang pemerintah tersebut naik Rp 472 triliun jika dihitung dari posisi akhir 2016 yang sebesar Rp 3.466 triliun.
"Hingga akhir Desember 2017 Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih sanggup menutup hampir empat kali dari jumlah outstanding utang pemerintah sejumlah Rp 3.938 triliun atau sekitar 29,2 persen dari PDB," ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman di Jakarta, Senin (16/1).
Secara lebih perinci, jumlah dari total utang pemerintah tersebut terdiri atas instrumen pinjaman sebesar Rp 744 triliun atau 18,9 persen dari total outstanding. Sementara, untuk Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.194,7 triliun atau 81,1 persen dari total outstanding.
Dari instrumen pinjaman, untuk pinjaman luar negeri sebesar Rp 738,4 triliun atau 18,7 persen. Komposisi pinjaman luar negeri berdasarkan pemberi pinjaman terbagi dalam pinjaman bilateral Rp 313,7 triliun atau 8 persen, multilateral sebesar Rp 381,2 triliun atau 9,7 persen, komersil sebesar Rp 42,6 triliun atau 1,1 persen. Sementara, untuk pinjaman dalam negeri sebesar Rp 5,5 triliun.
Sedangkan dari SBN, porsi SBN berdenominasi valas lebih kecil dibandingkan SBN rupiah. Hal itu masing-masing 21,7 persen atau sebesar Rp 853,6 triliun dan 59,4 persen atau sebesar Rp 2.341,1 triliun.
Luky mengatakan, posisi defisit APBN-P 2017 sebesar Rp 332 triliun atau 2,46 persen terhadap PDB. "Dapat kami sampaikan bahwa posisi per 12 Januari 2018, posisi defisit anggaran itu Rp 332 triliun. Itu akan dipenuhi oleh pembiayaan utang," ujar Luky.
Baca juga: Ketergantungan Utang Asing Bisa Dikurangi dengan Cara Ini