Senin 15 Jan 2018 19:09 WIB

KPPU Minta Instrumen Pengendali Harga Beras tak Hanya HET

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Nur Aini
Harga Beras Naik. Pembeli memilih beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Kamis (11/1).
Foto: Republika/ Wihdan
Harga Beras Naik. Pembeli memilih beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Kamis (11/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk menghadapi kenaikan harga pangan, khususnya beras. Ketua KPPU Muhammad Syarkawi Rauf mengatakan salah satu yang paling penting yaitu persoalan kebijakan pemerintah untuk melakukan stabilisasi harga dan pasokan beras.

Salah satunya, kata dia, saat ini pemerintah juga sudah menetapkan herga eceran tertingi (HET). "Ini yang perlu dipikirkan agar bagaimana HET tidak menjadi satu-satunya instrumen," kata Syarkawi usai melakukan FGD mengenai kenaikan harga beras di Gedung KPPU, Jakarta, Senin (15/1).

Selain itu, mengenai peran Bulog juga menjadi salah satu yang penting untuk menyetabilkan harga. Sementara Syarkawi menilai peran Bulog justru saat ini berbeda.

Dia mengatakan, sebelumnya peran Bulog bisa menjadi bagian untuk membagikan beras sejahtera (rastra) yang efektif stabilkan pasokan. "Tapi sekarang diganti jadi e-voucher dan menghilangkan peran Bulog untuk melakukan stabilisasi," ujar Syarkawi.

Selanjutnya juga mengenai persoalan di hulu pertanian yang diintegrasikan dengan unit bisnis. Dengan ide merujuk pada apa yang disampaikan presiden terkait korporatisasi petani, kata dia, unit bisnis yang ada di hulu bisa dimulai dari pemupukan, penggilingan, kemasan, pemasaran, dan lainnya.

Syarkawi juga melihat, pengembangan pasar induk beras juga penting. "Karena kita betul-betul tergantung pada referensi harga yang ada di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC)," kata Syarkawi.

Menurutnya, hingga saat ini masih banyak yang beranggapan, jika pasokan di PIBC kurang dari 30 persen maka seluruh indonesia kekurangan beras. Padahal, masih ada daerah-daerah yang masih cukup.

Untuk itu, Syarkawi mengatakan saat ini perlu mendorong bagaimana bentuk PIBC baru di sentra produksi seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, dan lainnya.

Tingginya disparitas harga beras internasional dibandingkan dengan harga beras di dalam negeri memberikan dorongan untuk melakukan impor. Menurut data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2017, harga beras Vietnam sekitar Rp 4.100 perkilogram dan Thailand sekitar Rp 4.496 per kilogram. Sementara harga beras di dalam negeri, menururut FAO sekitar Rp 10.447 per kilogram.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement