REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan Kementerian Pertanian harus memperbaiki data riil produksi beras domestik sebagai bahan rujukan mengeluarkan kebijakan terkait persediaan beras.
"Setahun ke depan perlu memperbaiki data riil produksi beras untuk kebijakan persediaan pada 2019," kata Berly dalam pernyataan di Jakarta, Senin (15/1).
Berly menjelaskan, selama ini ketidakuratan data panen raya domestik telah mempengaruhi persediaan beras di lapangan. Menurut dia, data yang disajikan oleh Kementan bukan data real produksi tetapi berdasarkan data produksi rata-rata.
Berly menyebutkan data yang disajikan Kementan bisa menghambat pemerintah dalam menganalisa jumlah kebutuhan dengan pasokan beras di daerah. "Apalagi saat ini indikasinya suplai beras menurun, sehingga harga meningkat," kata pengajar dari Universitas Indonesia itu.
Menurutnya, jika asumsi yang digunakan cukup jauh dari kondisi yang sebenarnya di lapangan maka perkiraan yang dihasilkan tentu akan menjadi bias. Hal lain yang harus dilakukan Kementan, kata dia, yakni memetakan jenis bibit padi dan pupuk yang cocok, serta disesuaikan dengan jenis tanah pada setiap daerah agar hasil produksi beras akan menjadi maksimal.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan mengeluarkan kebijakan impor beras khusus sebanyak 500 ribu ton dari Vietnam dan Thailand pada akhir Januari 2018. Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita memastikan beras impor itu khusus jenis yang tidak dapat diproduksi di Indonesia.
"Kualitasnya masuk kategori beras khusus sesuai dengan Permendag Nomor 1 Tahun 2018 yang pasti bukan masuk kategori IR64," ujar Enggartiasto.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras sebagai upaya menutupi kebutuhan konsumsi beras masyarakat sekitar 2,5 juta ton per bulan dan menekan harga beras yang melonjak sejak akhir 2017. Impor beras juga guna mengisi pasokan beras di dalam negeri sambil menunggu masa panen pada Februari-Maret 2018.