REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan lelang gula rafinasi yang akan dijalankan pemerintah pada pertengan bulan Januari ini dinilai perlu dikaji ulang. Pemerintah tidak boleh memaksakan kebijakan ini jika ternyata banyak masalah yang akan timbul.
Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, kebijakan lelang gula rafinasi tidak serta merta dapat menyelesaikan karut marut gula rafinasi di Tanah Air. Campur tangan pemerintah dalam proses lelang tidak otomatis akan memudahkan para pelaku usaha dalam mendapatkan gula rafinasi.
"Mereka justru harus mengeluarkan biaya ekstra yang berujung pada bertambahnya ongkos produksi. Biaya ini juga kemungkinan besar akan dibebankan kepada konsumen melalui harga jual produk," katanya, Rabu (10/1).
Menurutnya, ada beberapa hal yang membuat kebijakan ini harus dikaji ulang. Pertama, proses lelang akan memunculkan biaya ekstra yang memberatkan para pelaku usaha.
Kendati harga gula rafinasi lebih murah daripada gula konsumsi, munculnya biaya hambatan ini membuat harga gula rafinasi dapat menyamai harga gula konsumsi. Salah satu contoh biaya tersembunyi yang muncul adalah biaya perantara sejumlah Rp 85 sampai dengan Rp 100 per kilogram.
Kedua, proses penunjukkan perusahaan yang menjalankan lelang juga tidak transparan. Selain itu, mewajibkan semua pelaku usaha dari berbagai tingkatan untuk mengikuti lelang gula rafinasi juga tidak efektif.
"Kita tidak bisa menyamakan kebutuhan mereka. Kalau pelaku usaha yang tergolong dalam Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) harus membeli sesuai angka minimal yaitu 1 ton, tentu hal ini akan memberatkan ongkos produksi. Kebutuhan UMKM tidak sampai sebanyak itu," tambahnya.
Pasar lelang gula rafinasi yang digelar secara elektronik juga dinilai akan memberatkan UMKM. Hal ini disebabkan masih relatif minimnya pemahaman mereka terhadap teknologi dan belum tersedianya sarana untuk mengakses hal tersebut.
Di samping itu tidak sedikit pelaku usaha yang sudah memiliki kontrak pembelian gula rafinasi untuk jangka panjang. Keharusan untuk mengikuti lelang dan membayar fee menurut Hizkia justru akan menambah beban mereka. Sebelum menggunakan sistem lelang, para pelaku usaha membeli gula langsung ke produsen dengan menggunakan sistem kontrak.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) beralasan mereka memberlakukan sistem lelang karena ingin memfasilitasi pelaku usaha agar bisa membeli gula rafinasi langsung dari produsen. Namun persyaratan yang ditetapkan nyatanya memberatkan mereka.
"Mengomentari anggapan pelaku usaha sering dianggap menimbun gula, saya pikir hal ini tidak berdasar karena mereka tentu ingin membeli dan menggunakan bahan baku sesuai dengan kebutuhan karena sangat menyangkut biaya produksi," tegasnya.
Pasar lelang gula kristal rafinasi akan menggelar transaksi jual beli dengan menggunakan metode permintaan beli (bid) dan penawaran jual (offer). Volume penjualan atau pembelian yang diizinkan adalah sebanyak 1 ton, 5 ton dan 25 ton. Kemendag menunjuk PT Pasar Komoditas Jakarta (PKJ) sebagai penyelenggara pasar lelang gula kristal rafinasi.