REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengatakan, Indonesia memang tidak dapat mengelak dari impor gula mentah. Sebab, masih terjadi kesenjangan antara kebutuhan konsumsi dengan produksi gula dalam negeri.
Soemitro mencatat, produksi gula dari petani lokal mencapai 2,2 juta ton, sedangkan kebutuhan masyarakat Indonesia per tahunnya adalah 2,6 juta ton sampai 2,8 juta ton. "Jadi, kita tidak bisa mengelak kalau kita masih butuh impor," tuturnya saat dihubungi Republika, Senin (14/1).
Tapi, Soemitro menambahkan, yang menjadi permasalahan saat ini adalah waktu impor. Pemerintah kerap kali memberikan izin impor gula pada waktu yang tidak tepat, yakni saat panen.
Hal ini, menurut Soemitro, pernah terjadi pada awal 2018. Saat itu, kata dia, stok dari tahun 2017 masih tersisa 1,2 juta ton, sedangkan pemerintah memutuskan untuk impor.
Apabila siklus ini terus dibiarkan, Soemitro mengatakan, gudang Perum Bulog sebagai tempat penyimpanan stok gula dapat mengalami overload. Dampaknya juga, harga gula di tingkat petani semakin jatuh.
Selain memperbaiki waktu impor, Soemitro menilai, pekerjaan rumah pemerintah lainnya adalah merevitalisasi pabrik gula. Saat ini, tingkat rendemen gula masih berada di rentang 7 hingga 7,5 persen.
"Kalau saja bisa ditingkatkan dua kali lipat dengan memperbaiki pabrik gula, industri gula dalam negeri bisa jadi lebih produktif," ujarnya.
Soemitro juga berharap, pemerintah dapat melihat langsung kondisi petani tebu yang sudah sengsara karena rendahnya harga gula. Sampai saat ini, hanya sedikit pedagang besar yang berani membeli lelang gula petani di pabrik gula.
Menurutnya, jika dibiarkan begitu saja, tingkat kesejahteraan petani semakin menurun dan harapan pemerintah untuk swasembada gula semakin jauh dari realisasi.
Sementara itu, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan, intensitas kegiatan impor gula oleh pemerintah Indonesia yang tinggi sudah terlihat sejak 2009. Tapi, peningkatan signifikan baru terjadi pada 2016.
Tren ini tergambarkan dari data Badan Pusat Statistik dan United States Department of Agriculture sampai Oktober 2018.
Faisal mengatakan, puncak peningkatan impor gula terjadi pada tahun lalu. Saat itu, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara pengimpor gula terbesar sedunia menurut USDA dalam portal statistik, Statica.
"Kita melampaui Cina dan Amerika," ujarnya dalam konferensi pers Indef bertajuk Manisnya Rente Impor Gula di Jakarta, Senin (14/1).
Faisal mengatakan, peningkatan tren impor gula tepatnya terjadi pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, pemerintah menghamburkan izin untuk banyak perusahaan mengimpor gula mentah agar diolah menjadi gula rafinasi.
Kini, setidaknya hanya 11 perusahaan nasional yang mendapatkan izin untuk impor. Pada tiga tahun lalu, peningkatan paling tajam terjadi dari 3,38 juta ton pada 2015 menjadi 4,76 juta ton pada 2016.
Pada 2017, impor gula ke Indonesia sempat turun menjadi 4,48 juta ton yang kemudian naik kembali menjadi 4,63 juta ton sepanjang 2018. "Angka itu stabil dalam nilai yang tinggi," ujar Faisal.
Ekonom Indef Achmad Heri Firdaus menuturkan, ada beberapa hal yang harus segera dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kondisi ini. Salah satunya, melakukan inovasi atau efisiensi pabrik gula pemerintah agar produksi gula rakyat dapat lebih kompetitif dan efisien.
Kebijakan ini juga dapat mereduksi kesenjangan harga antara gula rakyat dengan gula impor.
Tidak kalah penting, menurutnya, dibutuhkan peningkatan luas areal perkebunan dan meningkatkan produktivitas usaha tani. Hal ini dapat dilakukan oleh para petani melalui peningkatan rendemen tebu.
"Selain itu, efisiensi di tingkat pabrik pengolahan dengan peningkatan teknologi mesin giling," tutur Heri.