REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menjelaskan, sebenarnya program Down Payment (DP) atau uang muka sebesar satu persen dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dibolehkan. Asalkan, program itu dilaksanakan oleh pemerintah, baik pemerintah daerah (Pemda) maupun pemerintah pusat.
"Kalau Pemerintah Pusat, paling tidak ada tiga jenis fasilitas untuk pembiayaan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Syaratnya MBR itu berpenghasilan di bawah Rp 7 juta dan bentuk fasilitasnya disebut Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) atau subsidi bunga atau subsidi uang muka," jelas Gubernur BI Agus Martowardojo saat ditemui usai menerima kunjungan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Gedung BI, Jakarta, Jumat, (5/1).
Ia menuturkan, FLPP disalurkan oleh bank lalu 90 persen pembiayaannya diberikan FLPP. Sebanyak 90 persen tersebut harus berasal dari bank pemberi pembiayaan sendiri. Setelah itu baru diberikan pinjaman ke end user dengan suku bunga lima persen.
"Kalau selisih bunga, itu nanti dia misalnya memberi pinjaman, jatuhnya nanti biayanya 11 persen. Sebesar enam persennya dibayar oleh negara sehingga ke end user cuma bayar lima persen. Kalau yang uang muka, negara membantu subsidi Rp 4 juta sedangkan yang lain dibayar debitur," tuturnya.
Pada kesempatan itu, Agus juga mengatakan telah menjelaskan kepada Pemda DKI Jakarta, akan sangat baik bila program dari Pemda DKI sejalan dengan program pemerintah pusat. Supaya nanti bersama antara daerah serta pusat memberikan perumahan bagi MBR.
"Kami menyampaikan agar ini selaras. Kemudian kalau seandainya pemda ingin memberikan pembiayaan kepada MBR itu perlu dibikin program Pemda. Dengan memberikan program Pemda, itu nanti perlu dibuat Perda (Peraturan Daerah). Perlu dibikin program dan harus melibatkan APBD," tambahnya.
Agus menegaskan, bila hal itu sudah masuk program Pemda, BI tidak keberatan jika LTV turun. "Dari 90 persen atau 85 persen ke yang lebih rendah. Bukan untuk masyarakat umum, hanya untuk MBR. Dan ada kategori bahwa itu program pemerintah. Program pemerintah kan harus ada di APBN atau APBD. Jadi yang saya jelaskan bahwa silahkan disusun tetapi kita kemudian mendiskusikan bahwa kalau rumahnya di atas Rp 30 juta itu nggak bisa masuk kedalam program MBR," kata Agus.
Hanya saja, kata dia, kalau masyarakat penghasilannya lebih rendah itu hanya bisa membayar rumah dengan harga maksimum Rp 240 juta. Jadi kalau harga rumahnya Rp 240 juta, masyarakat berpenghasilan Rp 7 juta, dengan cicilan 35 persen itu bisa dilakukan.
"Jadi ini adalah satu yang perlu ditindaklanjuti pemprov yaitu bagaimana caranya agar ada satu struktur rumah itu bisa harga Rp 240 juta. Bisa tersedia dan dalam bentuk rusunami tapi juga kalau ada sekarang rusunawa," terang Agus.
Kalau mau diubah menjadi rusunami, kata dia, ada satu masalah hukum yang harus diselesaikan oleh Pemda. "Kalau mau dijadikan untuk rusunami harus ada perubahan kepemilikan tanah gedung dan lain lain. Nah jadi hal ini yang kita diskusikan, sehingga kalau nanti mau direalisikan nanti lebih tepat strukturnya dan bisa mencapai 50 ribu unit per tahun (seperti rencana Pemda DKI)," tegasnya.