REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di hadapan para duta besar negara anggota Uni Eropa, Indonesia menyatakan sikap prihatin terhadap sikap diskriminatif Uni Eropa terhadap sawit Indonesia.
Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), Mahendra Siregar, menyebut langkah diskriminatif tersebut antara lain adanya tarif anti-dumping dan subsidi yang mengada-ngada. Termasuk dikeluarkannya resolusi Parlemen Eropa pada April silam yang melarang minyak sawit digunakan untuk biofuel di Eropa mulai tahun 2021.
"Padahal, Perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit merupakan sektor kunci pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia, termasuk untuk mengatasi kesenjangan kemiskinan dan kesenjangan pembangunan,'' tutur dia Selasa (28/11) dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id.
Briefing itu diberikan kepada 15 perwakilan negara anggota Uni Eropa, dan briefing dilakukan di Kementerian Luar Negeri. Briefing juga disampaikan Kepala Badan Pengkajian dan Perumusan Kebijakan Kemlu, Siswo Pramono, dan Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag, Pradnyawati.
Latar belakang briefing tersebut adalah pernyataan Presiden Joko Widodo pada KTT ASEAN-Uni Eropa pada 14 November 2017 di Manila, Filipina, yang meminta diskriminasi Uni Eropa terhadap sawit dihentikan. Isu tersebut dituangkan ke dalam Pernyataan Bersama Joko Widodo-PM Najib Razak dalam Konsultasi Tahunan RI-Malaysia di Kuching pada 22 November lalu.
Menurut Mahendra, diskriminasi Uni Eropa terhadap sawit Indonesia tampak dalam Deklarasi Amsterdam, kajian Komisi Eropa yang bias terhadap sawit, informasi-informasi dari LSM yang tidak berimbang, kampanye negatif pemasaran oleh perusahaan Eropa, serta berbagai merek dagang yang menyebut ''produk bebas sawit.''
Mahendra juga menjelaskan posisi negara-negara produsen sawit yang justru melihat sawit sebagai satu-satunya minyak nabati berkelanjutan. Apabila tidak ada sawit, kebutuhan dunia akan minyak nabati harus digantikan oleh perluasan lahan pertanian rapeseed atau kedelai yang mencapai 5-10 kali lebih besar dari perluasan sawit.
''Ini akan berakibat konversi lahan besar-besaran mengingat produktifitas kedua komoditas tersebut hanya seperlima hingga sepersepuluh sawit,'' ujarnya.
Dalam konteks itulah, Mahendra menyatakan bahwa program penanaman kembali (Replanting) kelapa sawit dan peningkatan produktifitas petani kecil sawit, yang baru-baru ini diresmikan Presiden RI, menjadi sangat strategis. Dengan menggunakan luasan lahan yang sama, produktifitas sawit dapat meningkat terus untuk memenuhi peningkatan permintaan.
''Sekaligus meningkatkan kesejahteraan para petani dan perekonomian di daerah-daerah yang kebanyakan jauh dari pusat-pusat pertumbuhan,'' tutur dia.