Kamis 23 Nov 2017 09:17 WIB

Kesejahteraan Pedagang Kue Meningkat Sejak Pakai Gas Bumi

Gapura Kampung Kue, Surabaya, Jawa Timur
Foto: Erik Purnama Putra
Gapura Kampung Kue, Surabaya, Jawa Timur

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

"Saya senang pertama kali ditawari ikut pakai gas bumi, karena saya punya teman di kompleks depan itu sudah pakai lama. Itu dia kasih referensi, 'enak gak usah setiap kali habis (gas) ganti tabung, malem-malem gak usah ganti. Ya sudah lah wong gratis juga, tapi saya senang keputusannya tepat," tutur Elfa Susanti saat ditemui Republika di dapur rumahnya, belum lama ini.

***

Elfa adalah satu dari puluhan warga Rungkut Lor RT 04 RW 05 Gang 2, Kota Surabaya, yang sehari-harinya menggunakan gas bumi untuk mendukung kelancaran usahanya. Warga Rungkut Lor memang selama ini dikenal sebagai pedagang kue produksi rumahan. Tidak salah kawasan itu mendapat julukan sebagai Kampung Kue.

Aktivitas membuat kue tampak di setiap sudut rumah hingga gang kecil. Warga yang tinggal sepanjang jalan selebar 3,5 meter ini, memang tidak kenal henti dalam memasak kue sepanjang hari. Aktivitas di Kampung Kue sudah dimulai sejak pukul 03.30 WIB atau sesaat menjelang shalat Subuh. Warga yang tinggal di situ pada pagi-pagi buta sudah menjajakan berbagai macam kue basah maupun kering kepada para pelanggan. Baik warga sekitar maupun di luar Surabaya juga ada yang setiap harinya membeli di Kampung Kue yang ditandai dengan terpasangnya gapura unik di mulut gang.

Elfa yang kala itu sedang sibuk membuat roti dan kue lapis tampak serius memandangi oven di depannya. Butir keringat terlihat memenuhi wajahnya di tengah suasana panas dapur. "Ini kue pesanan saja Mas. Saya jualannya aneka kue basah, hampir 40 item kue, by order sistem penjualannya," kata Elfa.

Dia mengaku, pada hari itu ia memang sedikit agak capek. Pasalnya, ia belum beristirahat sejak pagi hari dan berlanjut dengan pekerjaan membuat kue pesanan pelanggan. Dia menuturkan, harus membantu ibunya membuka lapak di depan rumah sekitar pukul 04.00 WIB. Kegiatan itu rutin dilakukannya lantaran banyak pembeli yang memang senang dengan produk yang dibuatnya.

"Kalau ibu buka lapak di depan. Kampung Kue kalau pagi itu ramai kayak pasar. Yang ngambil jauh-jauh, jam 3-an atau 4 sudah datang semua, dari Gresik, Krian (Sidoarjo) ada. Kalau saya membuka jualan mulai jam 5.30 WIB," tutur Elfa.

Dia menuturkan, usaha yang digelutinya berkembang dengan pesat sejak sebutan Kampung Kue melekat di gang, tempat tinggalnya. Elfa menerangkan, sebelum tahun 2010, ia harus menggunakan gas LPG ukuran tiga kilogram (kg) atau gas melon sebagai bahan bakar kompor yang digunakan untuk memasak. Dia masih ingat, setiap harinya harus menghabiskan dua tabung gas melon ketika harganya masih Rp 13 ribu. Saat ini, harga gas melon di kampungnya dijual sekitar Rp 17 ribu.

Elfa memiliki pengalaman tak terlupakan ketika harus menyelesaikan kue pesanan pelanggan, yang harus telat dikirim. Pada kala itu, ia sedang duduk di dapur tinggal menunggu kue yang diperkirakan sudah matang. "Cuma pernah pas malem-malem, kue yang dioven kok tidak mengembang-mengembang. Saya cek, baru tahu gasnya habis. Saya harus muter-muter ke pom bensin (SPBU) untuk membeli gas melon karena toko tutup. Itu merepotkan, dan masalahnya kuenya kan jadi jelek pas dioven gasnya habis," tutur Elfa yang mulai berjualan sejak tahun 2002.

Karena itu, ketika di kampungnya diadakan sosialisasi pembangunan jaringan gas (jargas), Elfa termasuk yang antusias mendaftarkan diri. Dia tertarik ikut lantaran sudah mendapatkan cerita dari temannya sesama penjual kue di Surabaya, yang selama ini sudah memakai gas bumi. Selain itu, tawaran gratis dari pegawai PT Perusahaan Gas Negara (PGN) juga membuatnya tidak berat hati rumahnya dipasangi jargas. 

Hanya saja, pihak PGN memberi syarat bahwa yang boleh mendaftar harus memiliki kartu keluarga (KK) setempat. Alhasil, karena banyak juga warga yang jualan kue berstatus sebagai pengontrak rumah maka tidak boleh ikut. Alhasil rumah yang terpasang gas bumi hanya puluhan rumah.

Dia menerangkan, saat itu tidak banyak warga yang antusias ikut program pemasangan pipa gas bumi yang ditawarkan petugas. Selain kurangnya pengetahuan manfaat jargas, sambung dia, warga juga ada yang takut dengan pemasangan pipa gas hingga ke dalam rumahnya. Apalagi, sempat beberapa kali muncul berita adanya ledakan gas LPG hingga membuat sebagian orang khawatir.

Setelah berjalan beberapa tahun, lanjut Elfa, warga yang sebelumnya menolak rumahnya dipasang jaringan gas terlihat menyesal. Hal itu terbukti dengan pengaduan yang dilakukan mereka kepada suaminya, Tristanto yang menjadi ketua RT 04 sejak dua tahun lalu. Dia menuturkan, tidak sedikit warga yang memohon bantuan kepada suaminya untuk diupayakan agar rumahnya tersambung dengan pipa gas. Dia maupun suaminya juga sudah menyampaikan kepada petugas PGN tentang keinginan warga yang ingin rumahnya bisa terpasang saluran gas secara kolektif.

"Sekarang karena tahu kemudahannya, pada minta pasang semua. Tapi tak semudah dulu, itu (tetangga) ngomel-ngomel lagi sekarang. Pak RT yang kena, kebetulan suamiku yang kena pulungnya. Dulu waktu ada pemasangan gratis menolak, tapi sekarang pada minta pasang semua," ucap Elfa.

Elfa tidak memungkiri, kini usaha kue yang digelutinya berkembang pesat. Tanpa menyebut omzet yang didapatnya, ia bisa menikmati pendapatan cukup besar lantaran biaya produksi yang dikeluarkan sangat efisien. Salah satu kecilnya biaya produksi, lanjut dia, disumbang fasilitas jargas yang setiap harinya dipakai tanpa pernah mengalami gangguan.

"Pakai gas bumi lebih murah? Iya, hampir 40 persen, 50 kali ya penghematannya, per bulannya saya bayar sekitar Rp 300 ribu sampai Rp 350 ribu. Tapi kalau pakai tabung bisa sehari dua tabung. Lebih praktis juga, yang paling penting safety. Belum ada kejadian (bocor) dan semoga tidak," ucap Elfa.

Nurul Fatonah (62 tahun) mengaku, ia berjualan kue sejak anak-anaknya masih kecil. Dia mengingat, Elfa yang ikut berjualan kue lantaran mengikuti jejaknya. Dia menerangkan, kondisi berjualan kue pada era 80-an sangat berbeda jauh dengan saat ini. Menurut Nurul, ia termasuk yang merintis sebagai penjual kue di kampung Rungkut Lor. Jumlah penjual kue semakin banyak menjelang tahun 2.000, ketika banyak tetangganya yang bekerja pabrik terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Mereka akhirnya banting setir berjualan demi tetap memperoleh pendapatan.

Kemudian, kampungnya semakin dikenal masyarakat lantaran banyaknya warga yang berjualan kue, hingga pembeli dari berbagai wilayah Surabaya dan sekitarnya berdatangan. Tidak disangka, selanjutnya masuk jaringan gas di kampungnya hingga membuat biaya produksi dalam membuat kue turun drastis. Hal itu membuat warga semakin semangat dalam berjualan hingga pembelinya pun berdatangan dari wilayah di luar Surabaya. Setelah itu, Rungkut Lor mendapat julukan sebagai Kampung Kue, yang berdampak pada tingkat penjualan meningkat.

"Dulu hanya sedikit pembelinya, penjualnya juga. Dulu di sini gak terkenal seperti sekarang. Emang sekarang kerasa banget. Muncul sebutan Kampung Kue kira-kira sebelum 2010, tapi yang terkenal bener-benar ya mulai 2010. Setelah gas bumi ini masuk, jadi terkenal," ucap Nurul.

Elfa membenarkan pernyataan ibunya. Menurut dia, dari sekitar 200 kepala keluarga (KK) yang tercatat di Rungkut Lor, sebanyak 60 KK menjadi penjual kue. Dari jumlah itu, tidak sedikit yang berasal dari luar daerah dan berstatus menyewa rumah. Mereka berjualan kue dengan menggunakan kompor biasa memakai gas melon.  Meski tinggal di rumah sederhana, kata Elfa, namun sebenarnya para warga yang kebanyakan juga pendatang itu memiliki penghasilan mencukupi. 

Hal itu sebagai imbas semakin terkenalnya Kampung Kue hingga membuat pemesan dan pembeli terus mengalir sepanjang waktu. Sesama warga pun merasa tidak perlu bersaing lantaran memiliki pelanggan setia masing-masing. Alhasil kesejahteraan mereka ikut terangkat.

"Pesanan di sini banyak sekali, efeknya alhamdulillah (pendapatan) meningkat semuanya. Itu dirasakan semua warga. Benar di sini rumahnya ada yang sepetak, tapi di desa rumahnya gede-gede. Istilahnya, kerjanya di sini, hasilnya bawa pulang," ujar Elfa tertawa sembari menunjuk beberapa tetangganya yang mengontrak dan memiliki rumah besar di kampungnya. 

Strategic Stakeholder Management PT PGN Distribusi Jawa Timur, Irfan Kurniawan mengatakan, pelaku usaha di Kampung Kue sebenarnya sudah mendapatkan manfaat layanan gas bumi sejak tahun 2010. Namun, PGN baru mengelola jaringan di lokasi tersebut sejak dua tahun lalu. Dia menuturkan, masuknya jaringan gas ke Kampung Kue lantaran pada saat itu sedang ada pengembangan pipa gas ke arah Rungkut. 

Karena itu, pihaknya mengapresiasi warga yang sedari awal sudah mengetahui keunggulan pemakaian gas bumi dibandingkan bahan bakar lain untuk mendukung perkembangan usaha pembuatan kue. "Kampung Kue sejak tahun 2010 telah dibangun jaringan gas oleh pemerintah pusat melalui Ditjen Migas (Kementerian ESDM) dan pengelolaannya oleh BUMD PT Petrogas Jatim Utama. Sejak November 2015, pengoperasian gas di Kampung Kue dialihkan dan dikelola oleh PGN," lanjut Irfan.

Dia menambahkan, PGN tentu mendorong agar para pelanggan bisa memanfaatkan gas bumi untuk menunjang aktivitas sehari-hari dan mendukung pengembangan usaha masyarakat. Hanya saja, PGN dalam memperluas layanan kadang terkendala adanya utilitas yang sudah terpasang di jalur pemasangan pipa gas. "PGN ingin menyalurkan gas bumi agar dapat dinikmati masyarakat, termasuk untuk kegiatan komersial, seperti UMKM di Kampung Kue," ujar Irfan. n 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement