REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong industri jasa keuangan untuk mengeluarkan produk-produk jasa keuangan untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang digenjot Pemerintah. Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida mengatakan kebutuhan pembiayaan infrastruktur selama 2015-2019 mencapai Rp 4.197 triliun.
Dana APBN, jelas Nurhaida, hanya mampu membiayai sebesar Rp 525 triliun, kemudian dari BUMN sebesar Rp 1.258 triliun, serta paling besar dari sektor swasta yang mencapai Rp 2.414 triliun. Dana dari swasta tersebut ditargetkan berasal dari pasar modal, perbankan dan perusahaan pembiayaan.
"Pembangunan infrastruktur penting agar aktivitas ekonomi bergerak lebih cepat terutama di luar Jawa," kata Nurhaida dalam kuliah umum di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Dramaga, Bogor, Senin (20/11).
Nurhaida menambahkan, OJK mendorong diversifikasi pembiayaan infrastruktur seperti dari pasar modal yang sudah disiapkan seperti Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) dan Reksadana Pembiayaan Penyertaan Terbatas (RDPT).
Beberapa waktu lalu, sejumlah perusahaan sudah mengeluarkan KIK EBA seperti Jasa Marga senilai Rp 2 triliun dan PLN senilai Rp 4 triliun. Selain itu, Sarana Multigriya Finansial (SMF) juga mengeluarkan Efek Beragun Aset -Surat Partisipasi (EBA-SP) sebesar Rp 2,7 triliun.
"Dari swasta kita mencoba mendorong industri jasa keuangan mengeluarkan produk-produk seperti sekuritisasi, yang saat ini sudah dilakukan Jasa Marga, PLN dan SMF," jelas Nurhaida.
Di samping itu, porsi APBN juga mulai mengarah pada peningkatan dana infrastruktur. Peningkatan dana infrastruktur menggantikan alokasi dana subsidi energi yang diturunkan oleh pemerintah. Pada 2014 subsidi energi dialokasikan sebesar Rp 341,8 triliun, kemudian diturunkan menjadi Rp 89,9 triliun pada 2017. Sementara alokasi infrastruktur dinaikkan dari 2014 yanh sebesar Rp 154,7 triliun menjadi Rp 388,3 triliun pada 2017.
"Dari sisi APBN terbatas. Sisanya dari pasar modal. Pada 2018 kami menargetkan pasar modal bisa menghasilkan Rp 673,94 triliun, di mana Rp 414,5 triliun berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 259,44 triliun dari IPO, rights issue, RDPT, DIRE, dan sukuk atau obligasi korporasi," kata Nurhaida.
Menurut Nurhaida, dunia internasional telah mengakui kinerja perekonomian Indonesia secara positif. Hal itu terlihat dari rating investment grade dari lembaga pemeringkat dunia.