Jumat 10 Nov 2017 01:36 WIB

Lembaga Wakaf Butuh Klasifikasi untuk Terapkan Acuan Global

Rep: Binti Sholikah/ Red: Elba Damhuri
 Warga mengisi formulir sertifikasi halal secara on-line di kantor Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Jakarta, Selasa (28/7).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Warga mengisi formulir sertifikasi halal secara on-line di kantor Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Jakarta, Selasa (28/7).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Acuan pengelolaan wakaf internasional (Waqf Core Principles/WCP) sedang disusun oleh Bank Indonesia (BI) bersama Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan akademisi. Untuk dapat melaksanakan WCP, dinilai perlu adanya klasifikasi lembaga pengelola wakaf.

Naskah WCP terdiri atas 28 butir. Naskah tersebut telah didiskusikan dalam kegiatan dengar pendapat dalam acara Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2017 di Grand City Convex Surabaya, Rabu (8/11).

Presiden Direktur Global Wakaf, Imam Teguh Saptono, menyatakan mendukung untuk menjadikan lembaga wakaf menjadi lebih profesional, transparan, dan akuntabel melalui pelaksanaan WCP. Namun, nantinya dalam pelaksanaan WCP, Imam menilai sebaiknya lembaga wakaf diklasifikasi terlebih dahulu selayaknya bank.

Pada saat bank akan menerapkan Basel 1, 2, dan 3 juga tidak langsung berlaku bagi seluruh bank. Sebab, terdapat klasifikasi bank, seperti bank devisa dan nondevisa, bank kategori kompleks dan nonkompleks dan sebagainya.

"Jadi nanti lembaga wakaf ada baiknya diklasifikasi juga. Artinya, tidak seluruh WCP yang kemarin didiskusikan dalam public hearing, yang ada 28 butir itu langsung berlaku untuk seluruh lembaga wakaf," ucap Imam .

Imam menjelaskan, ada beberapa item dalam WCP yang berkaitan jika lembaga wakafnya sudah menjalankan wakaf tunai (cash wakaf) maupun wakaf tunai secara temporer (cash wakaf temporer). Selain itu, dalam perjalannya nanti, Imam juga menilai perlunya dilakukan revisi terhadap undang-undang wakaf.

Sebab, untuk melaksanakan WCP agar lebih ideal akan lebih sulit jika dilaksanakan lembaga wakaf perorangan. Selama ini, wakaf perorangan masih diakomidasi oleh undang-undang wakaf. "Jadi harapannya ke depan lembaga wakaf sebaiknya memang bukan perorangan tapi badan hukum atau yayasan," jelasnya.

Selanjutnya, dari sisi aspek pemenuhan. Menurutnya, aspek pemenuhannya juga harus diberikan baik itu badan wakaf atau badan wakaf bekerja sama dengan Bank Indonesia memberikan panduan untuk memnuhi WCP tersebut. Misalnya, sertifikasi maupun bantuan teknis.

"Tapi kembali lagi perlu dikaji. Yang penting jangan 28 itu diterapkan sekaligus karena nanti yang jadi malah wakafnya masih sedikit semuanya malah mengkeret karena harus melaksanakan regulasi," kata Imam.

Terkait klasifikasi tersebut, menurut Imam, selama ini ada lembaga wakaf yang hanya penyelenggara aset wakaf, artinya lembaga tersebut hanya dititipi kuburan dan masjid. Berbeda dengan lembaga pengelola wakaf yang memang diberikan aset produktif.

Imam merinci, lembaga wakaf bisa diklasifisikan, pertama nadzir yang hanya mengelola aset wakaf produktif. Kemudian meningkat nazir yang menerima dan mengelola aset wakaf produktif. Kemudian meningkat lagi, nazir yang menerima dan mengumpulkan wakaf tunai (cash wakaf). Dan yg paling tinggi, lembaga pengelola wakaf yang sudah menerbitkan wakaf temporer karena sudah semi investasi.

"saya mau wakafkan uang misalkan Rp 10 miliar untuk waktu lima tahun. Dan itu harus kembali kan, dan itu lebih membutuhkan pengelolaan risiko yang lebih tinggu. Itu tingkatnya lebih tinggi lagi," terang mantan Direktur Utama BNI Syariah tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement