Kamis 09 Nov 2017 01:18 WIB

LPS: Informasi Hoax Ancam Pelaku Usaha

Red: Nur Aini
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah saat menandatangani Nota Kesepahaman di kantor LPS, Jakarta (3\3).
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah saat menandatangani Nota Kesepahaman di kantor LPS, Jakarta (3\3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Halim Alamsyah mengatakan info "hoax" atau kabar bohong yang beredar di bidang ekonomi bisa mengancam keberlangsungan pelaku usaha.

"Bahkan info hoax di bidang ekonomi juga bisa membuat bank tutup, oleh karena itu banyak perbankan membuat tim mengantisipasi hoax ini," kata Halim di Surabaya, Rabu (8/11).

Halim saat memberikan kuliah umum "Peran LPS Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, Pencegahan dan Penanganan Krisis" di Aula Gedung Fakultas Ekonomi Unair Surabaya mengakui, hoax di bidang ekonomi kini menjadi perhatian, khususnya bagi pelaku usaha. Karena, kata dia, stabiltas ekonomi bisa terjaga apabila mampu menahan kejutan serta melakukan koreksi terkait ketidakseimbangan keuangan, dan salah satu kejutan itu adalah hoax.

Meski sering terjadi kejutan hoax, Halim optimistis perkembangan ekonomi global dan dalam negeri akan semakin bagus pada 2018, dan kredit perbankan bisa lebih besar.

"Kinerja perbankan pada kuartal III ini lebih bagus karena indikasi kenaikan Dana Pihak Ketiga (DPK) ada pada kisaran 10 persen dibanding sebelumnya. Ini jadi satu bukti bahwasanya perekonomian makin membaik dan diharapkan berlanjut pada tahun 2018 mendatang," katanya.

Halim mengatakan, DPK mengalami peningkatan dari 9,47 persen menjadi 11,7 persen. Hal itu disebabkan penurunan "Loan to Deposit Ratio" (LDR) atau rasio kredit terhadap pendanaan dari 89,47 persen menjadi 89,05 persem pada September 2017.

Sementara itu, terkait banyaknya penutupan gerai ritel, Halim mengakui, hal itu bukan berarti adanya penurunan daya beli masyarakat dan penurunan ekonomi. Halim mengaku, hal itu karena makin ketatnya persaingan bisnis ritel yang menyebabkan pengusaha ritel perlu melakukan perubahan pola dan mencari keseimbangan baru.

"Bisa jadi ada yang ditutup, kenyataannya ada juga yang justru buka di tempat lain. Banyak masyarakat yang lebih menahan untuk tidak berbelanja dan kalaupun berbelanja lebih selektif," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement