REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat perpajakan, Yustinus Prastowo menanggapi komentar Rizal Ramli yang dengan tegas mengomentari pemerintah memalak uang rakyat dengan adanya revisi Undang Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP). Yustinus menilai mantan menteri era Pemerintahan Presiden Joko Widodo itu keliru dalam memahami revisi tersebut.
Menurutnya, Rizal tidak memelajari histori dari UU yang memang sudah ada sejak dulu, namun saat ini akan dimudahkan pengerjaannya. "Sebenarnya jika mundur ke belakang revisi UU PNBP adalah konsekuensi dari amandemen Undang Undang Dasar (UUD) pasal 23 a, karena dulu sebelum UUD di amandemen, yang wajib diatur UU itu hanya pungutan pajak," ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (3/11).
Perubahan ini, kata Yustinus, tidak bermasalah malah mengurangi praktek-praktek pungutan yang tidak semestinya. Dalam Undang-undang PNBP yang berlaku saat ini, ungkap dia, semua tarif dan jenis pungutan nonpajak diserahkan ke masing-masing lembaga. Dengan adanya revisi Undang Undang PNBP, nantinya semua layanan, termasuk jenis dan tarifnya, akan diintegrasikan.
Yustinus memberi contoh, selama ini biaya kawin cerai, mengurus KUA atau pengadilan agama, dipungut oleh lembaga-lembaga yang berbeda. "Ada juga polri berhak mengatur buku BPKP, universitas yang meberlakukan uang smesteran, mereka dari lembaganya sendiri. Maka, nantinya akan diintegrasikan, akan diurus pemerintah," ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) ini.
Dengan mekanisme pungutan nonpajak yang diserahkan kepada masing-masing lembaga, diakui Yustinus, menjadi tidak terkontrol. "Masing-masing lembaga menentukan pungutan dan menerapkan tarif sendiri tanpa indikasi dari kementerian keuangan. Oleh sebab itu perlu keterbukaan dan diatur oleh pemerintah," paparnya.
Transparansi mobilitas menjadi penting dalam upaya pemungutan PNBP di seluruh lapisan. "Administrasinya harus transparan, yang dipungut berapa, penggunannya bagaimana, jadi jelas akuntabilitas-nya," katanya menambahkan.
Pekerjaan rumahnya saat ini, lanjut dia, adalah bagaimana menjamin rakyat yang tidak mampu tetap bisa mendapat pelayanan tanpa mereka terhambat tidak mampu membayar. "Harus kita cari caranya," ujarnya.