Selasa 31 Oct 2017 04:09 WIB

Dinilai tak Produktif, Rokok Perlu Dikenakan Pajak Tinggi?

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Budi Raharjo
Pekerja di pabrik rokok. Rokok merupakan objek cukai terbesar. Kontribusinya mencapai 97 persen.
Foto: bea cukai
Pekerja di pabrik rokok. Rokok merupakan objek cukai terbesar. Kontribusinya mencapai 97 persen.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah tengah menggenjot penerimaan pajak sampai akhir tahun demi mencapai target sebesar Rp 1.283,6 triliun. Pasalnya sampai Agustus 2017, penerimaan pajak baru mencapai Rp 686 triliun atau 53,5 persen dari target yang tertulis dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP).

Sementara itu, pada 2018 pemerintah telah mematok target penerimaan pajak yang lebih tinggi hingga di atas Rp 1.400 triliun. "Pemerintah seharusnya perkokoh kepatuhan wajib pajak terlebih dahulu karena pajak berkaitan dengan behaviour manusia," ujar Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri di Jakarta, Senin, (30/10).

Lebih lanjut, Faisal menegaskan, seharusnya pemerintah meningkatkan pajak untuk sektor yang kurang produktif. Sebaliknya untuk sektor produktif, pemerintah perlu mengurangi pajaknya. "Tujuannya apa? Supaya yang kurang produktif jadi produktif dan yang sudah produk semakin produktif. Jadi jangan sebaliknya," ujar Faisal.

Ia menyontohkan, salah satu sektor tidak produktif misalnya rokok. Maka perlu diberikan pajak yang tinggi. "Jadi jaga masyarakat juga biar semakin sehat. Lalu misal yang produktif pajaknya kalau perlu hanya 10 persen," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement