Sabtu 21 Oct 2017 02:34 WIB
3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Indeks Penjualan Ritel Naik 0,1 Persen

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Budi Raharjo
Penjaga menunggu pembeli di salah satu ritel penjualan pakaian di Jakarta Pusat. (ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Penjaga menunggu pembeli di salah satu ritel penjualan pakaian di Jakarta Pusat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Penjualan ritel mulai menunjukkan perbaikan setelah sempat melemah sepanjang semester satu 2017. Ketua Umum asosiasi pengusaha ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mendey mengungkapkan, berdasarkan data Indeks Penjualan Ritel (IPL), ada kenaikan tipis pada pertumbuhan ritel saat September lalu sebesar 0,1 persen secara bulanan (month to month).

Kendati pertumbuhannya tak signifikan, Roy mengatakan, angka tersebut cukup menggembirakan bagi pelaku usaha ritel. Sebab, di bulan-bulan sebelumnya, penjualan ritel anjlok cukup dalam, yakni -9,7 persen pada Juli 2017 dan -3,8 persen pada Agustus 2017. "Memang kami peritel belum recovery semua, tapi sudah ada perbaikan di bulan September," kata Roy, saat dihubungi Republika.

Ia menduga, peningkatan penjualan ritel pada September lalu terjadi karena masyarakat sudah tak lagi menahan belanja setelah sebelumnya mereka fokus menyiapkan dana pendidikan. Selain itu, Roy memandang, penyaluran dana desa dan Dana Alokasi Umum (DAU) juga telah ikut berkontribusi dalam meningkatkan belanja di masyarakat.

Lebih lanjut, ia mengatakan, adanya komitmen pemerintah untuk tidak menaikkan harga-harga energi juga telah memberikan dampak positif untuk menjaga daya beli. "Karena dengan itu, masyarakat paling tidak lebih PD untuk belanja," ujarnya.

Jika konsumsi terus meningkat di bulan-bulan berikutnya, Roy optimistis pertumbuhan ritel dapat mencapai angka 7,4-8 persen sepanjang tahun 2017. Angka ini lebih rendah dibanding pertumbuhan ritel sepanjang 2016 yang menembus angka 9 persen.

Roy sendiri memandang ada sejumlah persoalan yang membuat laju pertumbuhan ritel cenderung melambat dari tahun ke tahun. Misalnya soal ketidak seimbangan antara pasokan dan permintaan dalam hal tenaga kerja. Ia menjelaskan, saat ini penduduk usia produktif jumlahnya lebih besar dibanding usia mapan dan usia sekolah. Hal tersebut menyebabkan harga buruh menjadi murah.

Pada Agustus lalu, upah buruh rata-rata hanya Rp 37 ribu per hari. Lebih rendah dibanding upah buruh rata-rata pada 2014 lalu yang sebesar Rp 39.200 per hari. "Upah ini belum terkoreksi sehingga membuat konsumsinya tidak menggeliat."

Selain itu, Roy juga mengkritisi kebijakan pemerintah dalam menarik investasi. Menurutnya, untuk memperbaiki daya beli masyarakat, pemerintah perlu mendorong lebih banyak investasi yang bersifat langsung, seperti pembangunan pabrik dan infrastruktur. Jangan hanya berfokus pada investasi yang bersifat penanaman modal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement