REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku industri mengeluhkan adanya pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk penerapan teknologi pascapanen. Namun Kementerian Perdagangan (Kemendag) masih akan mengkaji hal tersebut.
"Mungkin perlu dikaji lebih lanjut," ujar Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahja Widayanti saat ditemui di Hotel Bidakara, Rabu (18/10).
Sebenarnya, pengenaan pajak pada teknologi pascapanen sebesar 10 persen sudah pasti dan sejak lama dilakukan, mengingat ada proses produksi pada tahap tersebut. Contohnya, cabai yang kemudian setelah melalui pascapanen menjadi saus. "Itu artinya ada proses produksi yang menjadikannya layak dikenakan PPN," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang menyerahkan pembicaraan pajak kepada pemerintah."Biarlah di sana diskusi bagaimana hasilnya," kata dia.
Dalam kesempatan tersebut kepada awak media ia menjelaskan, pascapanen pada semuaproduk hortikultura yang mengolah produks dari solid menjadi kering, bubuk atau pasta bukan membawa nilai tambah. Namun produk tersebut membawa masa simpan yang lebih lama. Hal tersebut tentunya perlu dihargai pemerintah demi menjaga stabilitas harga komoditas.
Tapi, dengan memberatkan pajak pada penggunaan teknologi mesin, maka banyak yang memilih tetap bertahan pada pola tradisional. Dengan begitu, hanya industri besar yang memiliki alat teknologi dan bisa bertahan dengan adanya PPN.
"Yang bisa yang kuat-kuat saja.Kami ingin pascapanen di dekat petani ada. Bukan satu industri besar, jdi ada kebebasan pasar," ujar dia.