REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pulau Guernsey yang berada di Kepulauan Channel mendadak naik daun dan menjadi pembicaraan hangat di Indonesia dan dunia. Pergunjingan ini dipicu oleh adanya aliran dana misterius senilai 1,4 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 18,9 juta triliun (kurs 1 dolar AS = Rp 13.500), yang dilakukan oleh Standard Chartered dari Guernsey ke Singapura pada akhir 2015.
Guernsey merupakan sebuah pulau kecil di Selat Inggris, dan tidak termasuk menjadi bagian yuridiksi Inggris. Namun, sebagian besar urusan di bidang hubungan internasional dan pertahanan Guernsey ditangani oleh Pemerintah Inggris. Pendapatan Guernsey sebesar 55 persen datang dari sektor jasa keuangan.
Selama ini Guernsey dikenal sebagai negara tax haven alias suaka pajak, yakni wilayah yang memberikan perlindungan terhadap pengenaan pajak. Bentuk perlindungan tersebut merupakan kerahasiaan data-data nasabah bank dan tarif pajak rendah atau bahkan bebas pajak. Mengutip laman Central Intelligence Agency (CIA) mencatat, pendapatan domestik bruto (PDB) Guernsey sebesar 3,46 miliar dolar AS pada 2015. Sedangkan, pendapatan per kapita penduduk Guernsey sebesar 52.500 dolar AS per tahun dengan jumlah penduduk hingga Juli 2017 tercatat sebanyak 66.502 jiwa.
Pada Oktober 2014, Guernsey menandatangani perjanjian pajak Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan meratifikasinya pada awal 2016. Seperti diberitakan oleh BBC pada 18 Juni 2015, Guernsey masuk dalam 30 yurisdiksi di Eropa yang tidak kooperatif terkait informasi perpajakan.
Selain Guernsey, negara lain yang masuk dalam 30 yurisdiksi tersebut yakni Kepulauan Cayman, Panama, British Virgin Island, Vanuatu, Bermuda, Antigua, Bahamas, Andorra, Cook Islands, Grenada, dan Liberia. Juru Bicara Komisi Perpajakan dan Bea Cukai Eropa Vanessa Mock mengatakan, daftar hitam tersebut merupakan data dari negara-negara Eropa dan dapat diperbarui setiap tahun.
Sebelum misteri aliran dana di Guernsey ini mencuat, sebelumnya publik juga telah dihebohkan dengan munculkan dokumen Panama Papers. Dokumen tersebut menyajikan informasi pihak-pihak yang menghindari pajak. Sederet nama penting tertera dalam dokumen tersebut termasuk pemimpin negara, pejabat dan petinggi politik, pebisnis, hingga profesional. Tax haven lahir sebagai konsekuenesi meningkatnya tarif pajak.
Dilansir dari laman The Economist, sejak 1980an para pengemplang pajak sudah dimanjakan dengan berbagai pilihan untuk menyembunyikan aset mereka di sejumlah wilayah dari Bahama sampai Hong Kong. Persentase aset mereka yang disimpan di luar negeri telah meningkat secara drastis. Namun, sulit untuk menelusuri siapa pemiliknya dan berapa banyak jumlah asetnya.
Pada 2016, Bank for International Settlements (BIS) mengemukakan sejumlah data statistik perbankan global. Dengan menggunakan data tersebut, sebuah studi baru oleh tiga ekonom yakni Annette Alstadsaeter, Niels Johannesen dan Gabriel Zucman menyimpulkan bahwa tax havens telah mengumpulkan kekayaan yang setara dengan 10 persen dari PDB global. Studi tersebut menyebutkan, aset Rusia senilai 50 persen dari PDB berada di luar negeri. Kemudian aset yang disimpan di luar negeri dari negara lainnya Venezuela, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab naik di kisaran 60-70 persen. Sementara, aset Inggris dan Eropa mencapai 15 persen, serta sedikit sekali aset dari negara Skandinavia yang disimpan di luar negeri.
Berdasarkan studi dari tiga ekonom tersebut disimpulkan bahwa tarif pajak yang tinggi di suatu negara bukan menjadi penyebab banyaknya dana yang disimpan di luar negeri. Namun, orang-orang yang menyimpan aset di luar negeri justru berasal dari negara yang memiliki sumber daya alam melimpah, maupun negara dengan ketidakstabilan politik dan ekonomi.
Dari data studi ini, aset Swiss di negara tax havens memiliki tren yang menurun. Sedangkan Hong Kong tumbuh enam kali lipat dari 2007 sampai 2015. Di sisi lain, sekitar 0,01 persen rumah tangga di Inggris, Perancis, dan Spanyol menyimpan sekitar 30-40 persen kekayannya di negara tax havens.
Ekonom Gabriel Zucman menyayangkan, masih banyak data yang hilang temasuk Panama dan Singapura yang belum mengungkapkan statistik tersebut. Data dari BIS juga hanya mencakup simpanan di bank dan bukan sekuritas. Padahal, sebagian besar kekayaan di luar negeri disimpan dalam bentuk sekuritas. "Tanpa sanksi yang berat, fasilitas ini (penghindaran pajak) akan selalu ada," kata Zucman.