REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menegaskan, dana yang berasal dari uang elektronik tidak dapat digunakan bank untuk menyalurkan kredit. Hal ini dikarenakan sifat dana yang jangka pendek atau cepat habis.
Kepala Pusat Program Transformasi BI (PPTBI) Onny Widjanarko menjelaskan, dana endapan uang elektronik merupakan dana murah, namun tidak dapat dijadikan sebagai dana pihak ketiga (DPK) yang dapat disalurkan sebagai kredit.
"Dana yang mengendap itu kan sifatnya jangka pendek sekali. Kalau digunakan dapat menyebabkan mismatched," ujar Onny di Gedung Bank Indonesia, Selasa (19/9).
Maksudnya, terjadi ketidaksesuaian (mismatched) karena dana tidak terendap dalam waktu yang lama, sedangkan jangka waktu penyaluran kredit umumnya paling cepat selama sebulan. Maka perbankan tidak dapat menyalurkan dana yang cepat habis dalam penggunaan sehari-hari.
"Kemungkinan besar bisa digunakan untuk jangka pendek, kalau dana mengendapnya sudah stabil karena penggunanya banyak. Tapi tidak disarankan," ujar Onny.
Untuk mendorong peningkatan pengguna uang elektronik, Bank Indonesia rencananya akan mengatur biaya isi ulang (top up) uang elektronik yang tadinya bervariasi. Dalam ketentuan yang akan diterbitkan maksimal akhir tahun ini, bank sentral akan menetapkan capping atau batas maksimal biaya yang dikenakan ke konsumen.
Onny menjelaskan, biaya yang dikenakan dalam top up digunakan perbankan untuk meningkatkan layanan dan infrastruktur uang elektronik. Bahkan menurutnya dengan mengenakan biaya yang cukup besar, selama ini perbankan pun belum mendapatkan keuntungan. Dengan aturan capping ini, bank tetap mendapatkan biaya untuk investasi infrastruktur, namun tidak memberatkan konsumen.
Di sisi lain, capping juga akan menciptakan kompetisi antar penerbit kartu uang elektronik agar menetapkan biaya serendah mungkin. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan volume uang elektronik dari yang sudah ada saat ini.
"Kita harapannya kegiatan ekonomi semakin efisien dengan meningkatkan volume uang elektronik," kata Onny.