Ahad 27 Aug 2017 21:08 WIB

Keputusan Impor Gas Dipertanyakan, Anggota DPR: Ini Miris

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Nur Aini
Ladang gas
Foto: Fanny Octavianus/Antara
Ladang gas

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Keputusan pemerintah untuk mengimpor gas alam cair (LNG) diinilai miris apabila hanya berpikir bagaimana cara yang paling mudah atau cepat untuk mengatasi kebutuhan gas. Pemerintah juga dianggap tidak mencoba berpikir untuk jangka waktu yang panjang untuk mengatasi hal-hal seperti itu.

"Miris kiranya kalau pemerintah saat ini hanya berpikir bagaimana caranya yang paling mudah untuk pengadaan suatu hal itu dengan cara impor," ungkap Anggota Komisi VII DPR-RI Joko Purwanto kepada Republika.co.id, Ahad (27/8).

Dari mekanisme dagang impor tersebut, kata Joko, disinyalir kemudian setidaknya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu. Itulah yang menurut Joko wajib atau menjadi suatu hal yang pantas untuk disoroti atau diamati. "Sebagai Komisi VII DPR RI, tentu jadi tugas kami untuk mempertanyakan kepada pemerintah soal impor itu," kata dia.

Ia pun menuturkan, sebetulnya, kandungan gas di Indonesia itu berlebih. Tapi, dengan berpikir secara jangka pendek, pemerintah jadi berencana untuk mengimpornya tanpa berpikir secara jangka panjang tentang bagaimana menghadapi persoalan itu ke depanya. "Hari ini kita butuhnya gas, ya kita impor gas. Cari gampangnya saja menurut saya," lanjut dia.

Joko menambahkan, masalah-masalah itulah menurutnya perlu disikapi. Sebagai anak bangsa, seharusnya yang dipikirkan itu hal yang terbaik untuk masa depan. Menurut dia, bukan hanya kita yang saat ini hidup yang membutuhkan kehidupan yang baik.

"Bukan tidak mungkin anak-cucu kita ke depan itu membuthkan kehidupan yang lebih baik daripada kita saat ini?" jelas Joko.

Joko juga menilai miris melihat semua yang ada di Indonesia ini harus diimpor. Mulai dari gas, garam, beras, dan lainnya diimpor. Pemerintah ia anggap selalu berpikir yang praktis-praktis saja. Kemudian, dengan beralasan saat ini harga beli impor bisa lebih murah daripada harus melakukan spekulasi investasi terjadilah pembenaran. Pembenaran di mana impor itu merupakan suatu hal yang wajar.

"(Dianggap sebagai) kebijakan yang benar. Padahal kan tidak seperti itu. Jadi terlalu mudah kita membenarkan sesuatu, kemudian mencari celah pembenaran terhadap sesuatu yang belum tentu benar," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement