REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Ecky Awal Mucharam mengingatkan agar pemerintah waspada terhadap utang pemerintah.
Sebab, kata Ecky, defisit pada RAPBN 2018 ditargetkan mencapai Rp 325 Triliun. Menurutnya defisit anggaran tahun 2017 menyebabkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan mencapai 28,9 persen, dengan penambahan utang baru pada APBN 2018, maka rasio utang akan mendekati 30 persen.
“Hal tersebut perlu menjadi perhatian serius, karena tren rasio utang terhadap PDB terus meningkat selama 3 tahun terakhir, dimana pada tahun 2014 hanya sebesar 25 persen. Hal ini menjadi indikasi bahwa utang dilakukan belum dapat mendorong produktivitas,” ujar Ecky dalam siaran pers yang diterima Republika, Selasa (22/8).
Maka dari itu, kata Ecky, pemerintah perlu mencermati bahwa utang menjadi beban anggaran dari tahun ke tahun, melalui pembayaran bunga utang. Beban ini semakin besar dari tahun ke tahun.
Pada 2015, pembayaran kewajiban utang pemerintah mencapai Rp 155 Triliun atau 8,6 persen dari belanja negara, angka ini melonjak menjadi Rp 182 Triliun atau 9,7 persen dari belanja negara.
Kemudian pada 2017, berdasarkan APBN 2017, kewajiban bunga utang pemerintah diperkirakan mencapai Rp 220 Triliun dan pada RAPBN 2018 yang diajukan pemerintah. Beban ini mencapai Rp 247 Triliun atau 11,2 persen dari belanja negara.
Lebih lanjut, Ecky menekankan, beban pembayaran bunga utang pada RAPBN 2018 tersebut jauh lebih tinggi daripada belanja subsidi dan belanja fungsi perlindungan sosial yang berturut-turut hanya sebesar Rp 172 Triliun dan Rp 162 Triliun.
Politikus PKS ini mengingatkan pemerintah bahwa penambahan utang harus diimbangi dengan pelaksanaan program yang optimal, sehingga utang yang dikeluarkan tidak sia-sia.
Ecky melanjutkan, defisit pada 2015 dan 2016 tidak terrencana dengan baik terbukti tidak dapat terserap dengan baik. Hal ini terlihat dari besarnya sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) pemerintah yang pada tahun 2015 dan 2016 berturut-turut sebesar Rp 24 Triliun dan Rp 26 Triliun.
“Adanya SiLPA artinya pemerintah merugi karena sudah berutang tetapi tidak digunakan. Akibatnya selain sudah menanggung beban bunga yang ada, pemerintah kehilangan peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui belanja pemerintah,” tutup Ecky.