REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat ekonomi James Adam berpendapat bahwa Nusa Tenggara Timur cocok dijadikan salah satu pusat industri garam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Beberapa indikator NTT perlu dijadikan sentra industri garam, antara lain, daerahnya panas dan curah hujannya rendah sehingga memiliki kemiripan dengan negara India.
Indikator lain, katanya, dari aspek potensi, produksi garam di NTT sangat besar bahkan dua kali produksi garam di Madura. "Kalau di Madura 60 ton per hektare, di NTT bisa mencapai 120 ton per hektare atau dua kali lipat," katanya, Ahad (30/7).
Menurut mantan dosen ekonomi Universitas Kristen Atrha Wacana (UKAW) Kupang itu, jika potensi itu dikembangkan, maka bisa memenuhi kebutuhan nasional yang selama ini masih didatangkan dari luar (impor). Anggota IFAD (International Fund for Agricultural Development) untuk program pemberdayaan masyarakat pesisir NTT itu, mengatakan hal itu terkait persediaan garam di sejumlah daerah mulai terganggu akibat produksi garam yang mengalami penurunan.
Akibatnya sejumlah industri kecil pengasinan ikan dan telur asin mengurangi bahan baku garam dalam proses produksinya serta bagaimana tingkat produktifitas garam di daerah, apakah ada upaya memacu produksi garam melalui perluasan lahan atau penerapan teknologi baru.
Dalam konteks potensi pengembangan garam di NTT, katanya, Perusahaan Negara Garam sedang menggarap 400 hektare di Teluk Kupang dan sudah menghasilkan, 1 hektare bisa mencapai 120 ton. Garam tersebut, katanya, juga berkualitas tinggi karena didukung dengan kondisi laut yang biru dan panasnya panjang.
Menurut dia, saat ini, Indonesia masih mengimpor garam dari luar dengan besaran mencapai 6 juta ton per tahun, padahal secara potensi, sebenarnya tidak perlu impor. "Pemerintah kan sudah menginginkan agar angka impor bisa turun signifikan dengan mengandalkan dari dalam negeri dan karena itu lahan yang paling cocok di Nusa Tenggara Timur," katanya.
Bayangkan, kata dia, potensi areal garam idi Kabupaten Malaka sekitar 30 ribu hektare, di Teluk Kupang 8.000 hektare, Kabupaten Rote sekitar 1.000 hektare. Selain itu, Kabupaten Ende 2.000 hektare, di Reo hampir 5.000 hektare, dan Nagekeo sekitar 1000 hektare. Sehingga apabila Pemerintah akan menyiapkan aturan terkait tata niaga impor garam dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan maka akan sangat mendukung tekad NTT menjadi sentra produksi garam karena potensinya memungkinkan.
Untuk melakukan itu (tata niaga), menurut dia, perlunya pemerintah melakukan pemetaan terlebih dahulu terkait jenis-jenis garam, baik untuk kebutuhan industri maupun untuk jenis konsumsi