REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sunarsip*
Belakangan ini, isu utang pemerintah kembali diangkat oleh sejumlah kalangan dengan berbagai kepentingannya, baik ekonomi maupun politik. Pemerintah pun turun tangan menjelaskannya bahwa posisi utang pemerintah masih aman dan tidak membahayakan fiskal kita. Menteri Keuangan (Menkeu) menjelaskan bahwa pemerintah memastikan akan mengelola utang secara hati-hati. Saat ini, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih berada di bawah 30 persen dan defisit APBN pada kisaran 2,5 persen.
Menkeu menjelaskan bahwa dengan defisit di kisaran 2,5 persen Indonesia mampu tumbuh ekonominya di atas 5 persen. Itu artinya, stimulus fiskal telah mampu menggenjot ekonomi sehingga utang tersebut menghasilkan kegiatan produktif. Menurut Menkeu, saat ini pemerintah tengah menggelontorkan anggaran besar untuk membangun infrastruktur. Ini merupakan upaya pemerintah untuk mengejar ketinggalan pembangunan.
Bila mencermati data dari Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah memang mengalami kenaikan. Tambahan utang pemerintah dalam tiga tahun terakhir ini relatif lebih tinggi dibandingkan selama tiga tahun terakhir pada pemerintahan sebelumnya. Dalam tiga tahun terakhir ini, tambahan utang pemerintah baru mencapai Rp1,168,61 triliun. Jumlah tambahan utang pemerintah tersebut pun bisa bertambah apabila rencana pemerintah untuk merevisi APBN 2017 disetujui DPR.
Dalam dokumen RAPBN-P(erubahan) 2017 disebutkan bahwa pemerintah berencana menaikan defisit APBN 2017 dari sebelumnya 2,41 persen menjadi 2,92 persen terhadap PDB. Dengan kenaikan defisit tersebut, total tambahan utang pemerintah akan meningkat dari Rp 384,69 triliun menjadi Rp 426,99 triliun. Sehingga total utang baru selama tiga tahun terakhir dapat mencapai Rp 1.210,92 triliun. Sebagai perbandingan, dalam tiga tahun terakhir pemerintahan sebelumnya, tambahan utang baru mencapai Rp 619,74 triliun.
Namun, tentunya tidak fair dan kurang akurat bila penilaian terhadap kinerja utang pemerintah hanya didasarkan pada tambahan utang secara absolut. Menjadikan peningkatan utang pemerintah secara absolut sebagai indikator untuk menilai kinerja pengelolaan utang adalah argumentasi yang sudah kuno (obsolete). Ini mengingat, peningkatan utang sebenarnya konsekuensi dari semakin meningkatnya kapasitas perekonomian yang tentunya membutuhkan pembiayaan yang lebih besar. Karena itulah, kini dikembangkan ukuran-ukuran tingkat kesehatan utang pemerintah yang lebih relevan.
Dalam konteks utang pemerintah, konsensus global yang dipakai sebagai indikator kesehatan utang antara lain berupa rasio utang pemerintah terhadap PDB yang tidak melebihi 60 persen dan defisit APBN tidak melebihi 3 persen terhadap PDB. Bila menggunakan kedua ukuran ini, jelas posisi utang pemerintah masih aman. Rasio utang pemerintah masih jauh di bawah 60 persen, tepatnya sekitar 30 persen terhadap PDB. Sedangkan defisit APBN masih terjaga di bawah 3 persen. Dengan kata lain, dari sisi manajemen pengelolaan utang, sebenarnya utang pemerintah telah terkelola dengan baik.
Tentunya, persoalan utang tidak berhenti di aspek manajemen pengelolaan utang. Ini mengingat, kepentingan yang lebih besar sebenarnya terletak pada efektivitas pemanfaatan utang pemerintah serta kemampuan pemerintah membayar kembali utang-utangnya. Tingginya efektivitas pemanfaatan utang ditandai dengan perekonomian yang tumbuh lebih baik dan meningkatnya kesejahteraan. Dan seiring dengan membaiknya perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, pemerintah pun akan mampu membayar kembali utang-utangnya melalui pajak sehingga beban utang pemerintah pun dapat dikurangi.
Menentukan efektivitas pemanfaatan utang pemerintah kaitannya dengan perekonomian dan kesejahteraan rakyat seringkali ukuran sangat relatif. Sebagai misal, pemerintah berpendapat bahwa pemanfaatan utang sudah efektif dengan tercapainya pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen. Pemanfaatan utang juga diklaim efektif karena dipergunakan untuk membiayai kegiatan yang produktif seperti infrastruktur. Sedangkan, pihak lain berpendapat bahwa efektivitas pemanfaatan utang masih rendah, misalnya bila dikaitkan dengan rendahnya daya serap pertumbuhan ekonomi terhadap tenaga kerja. Dalam konteks ini, saya memilih bersikap netral dengan mengambil kedua pendapat tersebut, karena keduanya valid.
Namun, bila dilihat dari sisi kemampuan pemerintah dalam membayar kembali utang-utangnya, sepertinya memang ada hal yang perlu dievaluasi. Ini mengingat, pembayaran cicilan pokok ditambah bunga utang dibandingkan dengan penerimaan perpajakan cenderung meningkat. Bila pada 2011, rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap penerimaan perpajakan sekitar 26,25 persen, maka pada 2016 mencapai 32,31 persen. Tahun 2017 ini, seiring dengan masih melemahnya penerimaan perpajakan, diperkirakan rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap penerimaan negara akan meningkat kembali.
Masih relatif rendahnya kemampuan fiskal kita dalam mengurangi beban utang pemerintah juga tercermin dari indikator nilai keseimbangan primer (primary balance) yang terdapat di APBN kita. Sebagai penjelasan, keseimbangan primer ini merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran di luar bunga dan cicilan utang. Keseimbangan primer seyogyanya dijaga agar selalu berada dalam posisi yang positif. Jika nilai keseimbangan primer positif, maka posisi utang pemerintah akan berkurang seiring waktu. Sebaliknya, jika nilainya negatif, dalam jangka panjang dapat menyebabkan peningkatan nilai utang secara signifikan.
Berdasarkan data terlihat bahwa pada 2011, nilai keseimbangan primer pada APBN masih positif Rp 8,9 triliun (realisasi). Dalam perkembangannya, nilai keseimbangan primer tersebut mengalami angka yang negatif yaitu sebesar Rp -52,8 triliun (2012), Rp -98,6 triliun (2013), Rp -93,3 triliun (2014), Rp -142,5 triliun, Rp-105,5 triliun (2016), dan sebesar Rp 144 - Rp 178 triliun (2017). Dengan keseimbangan primer yang negatif tersebut menunjukkan bahwa kemampuan APBN kita untuk mengurangi beban utangnya masih lemah. Kondisi ini perlu segera diperbaiki agar tidak membahayakan kesehatan fiskal (fiscal sustainability) kita.
Tingginya beban rasio pembayaran utang dan defisit keseimbangan primer tersebut memperlihatkan bahwa pembangunan yang dibiayai oleh utang pemerintah belum mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berdampak langsung pada peningkatan perpajakan untuk membayar kembali utang pemerintah. Bisa jadi, situasi tersebut disebabkan oleh efektivitas penarikan perpajakan yang perlu didorong. Meski begitu, saya berpendapat rendahnya penerimaan perpajakan tersebut disebabkan pula oleh pemanfaatan dana utang yang dalam jangka pendek kurang mendukung perkembangan sektor-sektor ekonomi yang pro terhadap peningkatan perpajakan.
Pemerintah memang sedang fokus pada pembangunan infrastruktur. Namun, harus dicatat bahwa masa pengembalian investasi di infrastruktur sangat lama dan pengaruhnya dalam jangka pendek bagi perekonomian juga terbatas. Kita memang membutuhkan kegiatan pembangunan yang berorientasi jangka panjang. Namun, kita juga perlu mengelola agar orientasi jangka pendek tetap terjaga, seperti peningkatan pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor ekonomi yang selama menjadi sumber penerimaan perpajakan dan lapangan kerja.
*Penulis adalah Chiet Economist PT Bank Bukopin Tbk. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.