REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peneliti Institute for Development if Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, asumsi makro pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN-Perubahan jadi 5,2 persen dari 5,1 persen itu tidak realistis. Hal ini karena ekonomi dinilai sedang lesu.
''Diprediksi, ekonomi sampai akhir tahun ada di kisaran 5,05 persen minus 5,1 persen,'' ucap Bhima, saat dihubungi, Selasa (11/7).
Selain itu, Bhima menilai harga minyak jadi 50 dolar AS per barel naik dari 45 dolar per barel di tengah harga minyak yang turun, menjadi strategi pemerintah agar subsidi energi tetap ada untuk menyelamatkan daya beli.
Sementara, kurs tukar rupiah jadi Rp 13.400, dianggapnya terlalu optimistis. Hal ini karena di semester II ini akan ada tekanan dari kenaikan suku bunga Fed rate dan efek penghentian stimulus moneter Bank sentral eropa. ''Kurs sharusnya ditetapkan di kisaran Rp 13.450-Rp 13.500,'' ujar dia.
Bhima menuturkan, dari sisi defisit anggaran yang dilebarkan jadi 2,92 persen, memiliki konsekuensi dari naiknya utang sebesar Rp 33 triliun sampai Rp 67 triliun. Jika utang naik, sementara penerimaan negara justru turun, yang terjadi adalah kemampuan bayar pemerintah menjadi lebih rendah.
''Rasio utang terhadap PDB terancam naik. Bahkan dalam Nota Keuangan RAPBN-P 2017 diprediksi tahun 2019 rasio utang bisa loncat 32 persen terhadap PDB, yang artinya di atas batas aman 30 persen,'' kata Bhima.
Baca juga: Sri Mulyani Jawab Keraguan Target Pertumbuhan Ekonomi 2017