Senin 03 Jul 2017 20:03 WIB

Kenaikan NTP tak Berarti Kesejahteraan Petani Membaik

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Nur Aini
Petani memanen padi gogo di sawah tadah hujan di Kampung Petir, Warunggunung, Lebak, Banten. (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman
Petani memanen padi gogo di sawah tadah hujan di Kampung Petir, Warunggunung, Lebak, Banten. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Pertanian IPB Arief Daryanto menekankan jika Nilai Tukar Petani (NTP) tidak bisa serta merta menentukan kesejahteraan petani. Sebab,  ada faktor lain yang perlu diperhatikan untuk indikator kesejahteraan.

"NTP hanya salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani," katanya kepada Republika.co.id, Senin (3/7).

NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan yang juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi ataupun biaya produksi. Untuk itu, semakin tinggi NTP semakin kuat pula kemampuan daya beli petani. Namun, ia kembali menegaskan NTP bukanlah satu-satunya indikator kesejahteraan petani.

"Di samping NTP, ada Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) yang lebih mencerminkan kelayakan usaha petani," ujarnya.

Indikator kesejahteraan petani lain yang lebih tepat adalah diukur berdasarkan aset yang dimiliki, apakah meningkat ataupun menurun dari tahun ke tahun. Mengingat, sebagian besar petani di perdesaan, maka indikator kesejahteraan petani dapat juga dilihat dari tingkat kemiskinan maupun gini rasio di perdesaan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) NTP Juni 2017 tercatat mengalami kenaikan 0,38 persen menjadi 100,53 dibandingkan bulan sebelumnya 100,15. Arief menjelaskan, kenaikan NTP disebabkan Indeks Harga yang Diterima Petani (IT) mengalami kenaikan 0,60 persen atau lebih besar dibandingkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB) sebesar 0,22 persen.

IT adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi petani. "Dari nilai IT, dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan petani," ujar dia.

Ia menambahkan, IT dihitung berdasarkan nilai jual hasil pertanian yang dihasilkan oleh petani, mencakup sektor padi, palawija, hasil peternakan, perkebunan rakyat, sayuran, buah, dan hasil perikanan (perikanan tangkap maupun budi daya).

Sedangkan IB adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga maupun kebutuhan untuk proses produksi pertanian. Dari IB tersebut dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh petani dan merupakan bagian terbesar dari masyarakat di perdesaan, serta fluktuasi harga barang yang diperlukan untuk memproduksi hasil pertanian.

"Perkembangan IB juga dapat menggambarkan perkembangan inflasi di pedesaan," katanya. Ia menambahkan, IB dihitung berdasarkan indeks harga yang harus dibayarkan oleh petani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan penambahan barang modal dan biaya produksi yang dibagi lagi menjadi sektor makanan dan barang dan jasa nonmakanan.

Menurutnya, meningkatnya NTP tersebut merupakan dampak dari investasi pemerintah pusat dalam bidang infrastruktur, alat mesin pertanian (alsintan), subsidi pupuk, dan bantuan benih yang menurunkan biaya produksi yang harus dibayar oleh petani. "Jika harga yang harus dibayar petani bisa ditekan, pendapatan bersih petani pun akan meningkat," ujarnya.

Baca juga: Ini Penyebab Nilai Tukar Petani Meningkat

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement