REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) optimistis peningkatan pengeluaran rumah tangga selama periode Ramadhan dan Lebaran lalu bisa mendongkrak pertumbuhan konsumi rumah tangga, sebagai salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, dengan spending yang jelas meningkat dibanding bulan-bulan sebelumnya dan ditambah dengan tingkat inflasi yang terjaga rendah, 0,69 persen untuk Juni, maka konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua tahun ini berpotensi tembus 5 persen.
"Tapi kalau spending bagus, inflasi justru bergerak liar ya daya beli rendah. Tapi inflasi kita kan malah lebih rendah dibanding tahun lalu," ujar Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Senin (3/7).
Ia memandang, dengan inflasi yang terjaga rendah hingga akhir tahun dan sejalan dengan tingkat pendapatan yang relatif sama, maka target pertumbuhan ekonomi tahun ini di angka 5,1 persen bisa tercapai dengan serapan tenaga kerja yang lebih tinggi. Suhariyanto melihat adanya potensi besar untuk mendorong konsumsi rumah tangga justru berasal dari ekonomi kreatif dan industri.
Industri sendiri, lanjutnya, bisa berasal dari industri makanan dan minuman di mana selama periode Puasa dan Lebaran mengalami permintaan yang meningkat. Menurutnya, kondisi yang menimpa sektor ritel saat ini masih bisa tertolong dengan konsumsi rumah tangga yang baik.
"Ritel nggak menurun ya, kalau menurun itu negatif. Namun ini melambat, di mana tetap ada kenaikan, hanya saja lebih rendah dibanding tahun lalu," ujar Suhariyanto.
Pernyataan Suhariyanto ini menyusul keluhan pelaku industri ritel di mana permintaan sepanjang tahun ini mengalami perlambatan dibanding tahun lalu. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey menyebutkan, kalangan pengusaha ritel melihat adanya staganasi pertumbuhan ritel pada pekan pertama dan kedua Juni ini.
Ia memandang, secara umum pertumbuhan bisnis ritel akan sulit tembus di atas 5 persen pada Juni 2017. "Meski tentunya kami berharap bisa tembus 5 persen karena ada THR (Tunjangan Hari Raya). Tapi, melihat awal Juni justru under-performed, sepertinya sulit," ujar Roy.
Roy mengungkapkan bahwa kinerja pertumbuhan ritel yang melambat sudah terlihat sejak awal 2017 ini. Aprindo mencatat, pertumbuhan ritel modern pada januari 2017 sebesar 4,4 persen. Angka ini kemudian menurun di Februari dengan angka pertumbuhan hanya sebesar 1,1 persen.
Pada Maret 2017 pertumbuhan ritel sempat melonjak ke angka 5,6 persen, namun kembali menurun ke angka 4,1 persen di April. Bulan berikutnya, Mei, pertumbuhan ritel kembali terperosok ke angka 3,6 persen.
Roy memprediksi, pertumbuhan ritel akan tumbuh lebih baik di bulan Juni lantaran tren tahunan yang selalu menunjukkan kenaikan di periode puasa dan Lebaran. Hanya saja, angkanya diyakini akan sulit menyentuh angka 5 persen.
"Perlambatan masih terjadi dan konsumsi belum recovery. Itu tercermin dari pertumbuhan ritel," katanya.
Sebagai pembanding, angka pertumbuhan ritel di bulan Mei 2016 lalu sempat menyentuh 11,1 persen. Angka tersebut terus tumbuh hingga Ramadhan dan Lebaran tahun lalu.
Roy melihat bahwa masyarakat masih memandang belanja. Bahkan, ada pergeseran pola belanja oleh konsumen. Bila dulu masyarakat berbelanja dalam jumlah besar untuk persediaan bulanan, saat ini masyarakat memilih untuk berbelaja hanya pada saat merasa ada yang perlu dibeli. Itu pun, lanjutnya, konsumen kadang memilih untuk berbelanja di pasar tradisional.