Kamis 29 Jun 2017 08:40 WIB

Curhat Para Karyawan Seven Eleven

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andi Nur Aminah
Salah satu gerai waralaba Seven Eleven di Jakarta.
Foto: Antara/Prasetyo Utomo
Salah satu gerai waralaba Seven Eleven di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di hari keempat lebaran, momen berkumpul dengan keluarga masih menjadi agenda rutin yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di Indonesia.  Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh dua orang pegawai salah satu gerai Seven Eleven di  Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Dua pegawai yang enggan disebutkan namanya tersebut tampak meratapi nasib mereka yang dirumahkan oleh manajemen Seven Eleven lantaran perusahaan tersebut akan angkat kaki dari Indonesia terhitung mulai Jumat (30/1). Sebut saja nama mereka Ari dan Maya. Mereka berdua lebih memilih bercengkrama di depan gerai Seven Eleven yang telah ditutup.

Sambil memegang botol air mineral, Maya dan Ari saling berbincang tentang nasib mereka ke depannya. Setelah tempat mencari penghidupannya ditutup secara massal dan permanen, keduanya hanya bisa tersenyum kecut saat ada warga yang menanyakan ihwal tutupnya gerai Seven Eleven. 

Kepada Republika.co.id, Ari menuturkan dia dan enam pegawai lainnya mendapatkan pemberitahuan gerai mereka akan ditutup pada Ahad (18/6) lalu hanya dalam waktu satu malam. Memang, sehari sebelumnya ia sempat mendapatkan briefing akan ada penutupan di 40 gerai Seven Eleven dan gerainya termasuk di dalamnya. "Tidak menyangka juga besoknya dikasih tahu akan ditutup,  padahal baru sehari briefing dan ternyata seminggu setelahnya, tepatnya pada 24 Juni semua seven eleven ditutup, parah memang manajemen perusahaannya," tutur Ari.

Ari pun mengaku khawatir dengan pembayaran pesangon dirinya. Pasalnya, Ari sudah bekerja di Seven Eleven selama tujuh tahun. Sehingga seharusnya ia mendapatkan pesangon yang lumayan besar lantaran posisi serta statusnya sebagai karyawan tetap.

"Mereka bilang akan melunasi pesangon bulan Juli, tapi kami juga was-was, jadi ada rencana juga menyewa pengacara untuk membantu kami mendapatkan hak kami," ujarnya.

Selain khawatir dengan pembayaran pesangon, Ari mengatakan, pembayaran gaji Mei serta tunjangan hari raya pada pertengahan Juni lalu juga sangat memprihatinkan. Ari beserta pegawai Seven Eleven lainnya merelakan THR mereka hanya dibayar setengah lantaran kondisi perusahaan yang pailit  "Galau banget, katanya sih gaji dan THR minggu ini dilunasi, kan kami baru dapat setengah, bukan pegawai toko saja. Manajemennya juga dapatnya setengah," ungkapnya.

Ari menceritakan saat masih awal bergabung dengan Seven Eleven, dia merasa pilihan yang tepat pindah tempat kerja. Sebelumnya, Ari bekerja di Indomaret selama empat tahun. Jabatan asisten kepala toko pun sudah ia emban. Namun, adanya aturan mengganti barang hilang (mbh) di Indomaret membuatnya jengah. Sementara di Eeven Eleven tidak ada aturan tersebut. 

"Kalau ada barang yang hilang, paling dicari sampai dapat. Kalau tidak dapat ya kami (pegawai sevel) tidak akan meminta ganti rugi," kata dia.

Menurut Ari, sejak awal Seven Eleven sudah salah langkah. Pada awal berdiri, dia mengatakan, sudah terjadi pemborosan dalam mempekerjakan pegawai. Lantaran setiap gerai memiliki banyak pegawai seperti office boy serta pihak keamanan.

"Dulu pas masih jaya-jayanya memang enak banget, satu shift lima orang. Tapi ternyata tidak bagus untuk manajemen perusahaan, jadinya terlalu boros. Terlalu jor-joran mana enggak bisa mengatur keuangan," terangnya.

Ia pun membandingkan Seven Eleven dengan beberapa perusahaan retail lainnya seperti Family Mart ataupun Indomaret. Menurutnya bila Family Mart dan Indomaret tidak mau mengambil langkah coba-coba. Bila sudah mengetahui sebulan merugi, maka akan langsung tutup gerai. "Kalau Sevel banyak coba-coba. Setahun rugi ya masih saja terus dibuka," ucapnya.

Selain itu, kelebihan dari mini market lainnya adalah lantaran dimiliki oleh perusahaan makanan. "Seperti Family Mart kan punya Wings Food, jadi walaupun banyak utang masih punya produk. Kalau Sevel dia sistem beli putus. Nah kalau Alfa dan Indomaret sistemnya mereka masih bisa retur ke vendornya," ungkapnya. 

Sementara Maya mengaku sedikit kesal saat membaca beberapa berita di sejumlah media daring yang menceritakan betapa sedihnya para konsumen karena tutupnya Seven Eleven. "Saya rasnya campur aduk banget saat tahu diberhentikan, padahal baru enam bulan kerja setelah lulus SMK. Dan yang bikin saya sangat kesal waktu baca berita online yang bilang konsumen sedih. Mereka kagak mikir karyawannya. Di sini tutup juga gara-gara konsumennya kagak mau beli," kata dia.

Bila Ari dan Maya tetap memilih bertahan dalam manajemen Seven Eleven yang mulai goyang sejak setahun yang lalu, berbeda dengan Fendy, salah satu pegawai Seven Eleven yang sudah keluar dari perusahaan retail tersebut sejak setahun yang lalu. Menurutnya, keputusan keluar dari Seven Eleven sangat tepat. "Saya sudah keluar setahun yang lalu. Dan itu memang sudah sangat tepat. Sejak saya merasa manajemen tidak beres, langsung saya memutuskan untuk keluar," ujarnya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement