Kamis 08 Jun 2017 05:42 WIB

RUU Perkelapasawitan Dinilai tidak Pro Rakyat

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Budi Raharjo
Hamparan perkebunan kelapa sawit membentuk pola terlihat dari udara di Provinsi Riau, Selasa (21/2).
Foto: Antara/FB Anggoro
Hamparan perkebunan kelapa sawit membentuk pola terlihat dari udara di Provinsi Riau, Selasa (21/2).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Rencana Undang-Undang Perkelapasawitan yang sedang dibahas dinilai tidak pro rakyat. RUU itu dinilai lebih banyak berpihak pada pengusaha.

Hal tersebut berdasarkan hasil kajian LSM Kemitraan bersama dosen dan peneliti Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Rimawan Pradiptyo yang mengkaji dari perspektif ekonomi, serta dosen dan peneliti Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Willy Riawan Tjandra yang mengkaji dari perspektif hukum.

Rimawan mengatakan, salah satu dampak yang mungkin muncul jika RUU Perkelapasawitan ditetapkan adalah pembebanan risiko bisnis korporasi kelapa sawit kepada sektor publik. Fasilitas dan insentif dari pemerintah terhadap korporasi pada RUU memungkinkan penanam modal mengalihkan beban risiko bisnisnya kepada sektor publik, yang akan menciptakan beban fiskal cukup besar bagi pemerintah.

"Dengan demikian, fasilitas/insentif yang berlebihan tersebut akan memicu ekspansi budi daya perkelapasawitan yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap kelestarian fungsi lingkungan dan luasan areal hutan, serta mengancam keanekaragaman hayati Indonesia," ujarnya dalam diskusi media di Anomali Coffee Menteng, Rabu (7/6).

Lagipula, kata dia, regulasi yang tertuang dalam UU Perkebunan telah cukup mengakomodasi kelapa sawit. Bahkan jika dibandingkan dengan regulasi yang mengatur perkebunan, termasuk kelapa sawit, RUU ini tidak lebih baik dan tidak sekomprehensif undang-undang Perkebunan. "Untuk itu kami memandang sebaiknya DPR tidak melanjutkan dan menghentikan pembahasan RUU ini," tegas Rimawan.

Senada dengan Rimawan, Direktur Program untuk Sustainable Development Governance Kemitraan pada Dewi Rizki menyayangkan RUU Perkelapasawitan yang berpihak pada korporasi besar dan tidak mewujudkan pembangunan yang berkelestarian dan berkeadilan.

Menurutnya, pemerintah seharusnya memberikan dukungan kebijakan dan instrumen ekonomi yang dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani swadaya kelapa sawit. Mereka, kata dia, hanya berkontribusi sekitar 27 hingga 38 persen dari total produksi kelapa sawit di Indonesia .

Alokasi dukungan fiskal Pemerintah tersebut sebaiknya ditujukan untuk memberdayakan petani dari teknologi budidaya, untuk akses keuangan dan akses pasar serta praktik perkebunan yang berkelanjutan. "Kajian ini dilakukan tanpa maksud menghalangi kemajuan budidaya kelapa sawit tanah air," kata dia.

Untuk itu pihaknya mendorong DPR dan Pemerintah untuk menghentikan pembahasan RUU Perkelapasawitan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement