Selasa 06 Jun 2017 21:49 WIB

Perlu Terobosan Percepat Program Sejuta Rumah

Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basoeki Hadimoeljono (kanan), Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (BTN) Maryono (keempat kanan) meninjau bangunan rumah Villa Kencana Cikarang untuk masyarakat berpenghasilan rendah usai peresmian di kawasan Sukatani, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (4/5).
Foto: Antara/Risky Andrianto
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basoeki Hadimoeljono (kanan), Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (BTN) Maryono (keempat kanan) meninjau bangunan rumah Villa Kencana Cikarang untuk masyarakat berpenghasilan rendah usai peresmian di kawasan Sukatani, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (4/5).

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan peraturan bagi para pengembang agar mereka tertarik membangun rumah sederhana bagi masyarakat berpengharsilan rendah (MBR). hal itu dinilai penting guna mempermudah mewujudkan program sejuta rumah yang dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

Menurut Asmat Amin, Managing Director SPS Group, Selasa (6/6) saat ini masalah pembangunan rumah bagi MBR adalah kian terbatasnya lahan perumahan. Hal itu memicu kenaikan harga tanah yang kian tak terkendali. Di sisi lain, pengembang dihadapkan pada kenyataan kebijakan BI checking. Kebijakan itu memungkinkan perbankan menolak pengajuan kredit karena penghasilan calon nasabah dianggap tidak mencukupi untuk membayar cicilan rumah. Apalagi bila calon nasabah juga masih memiliki tanggungan hutang lainnya. 

Pihaknya berharap ada semacam kelonggaran bagi kebijakan BI checking ini. Apalagi bertepatan dengan saat dimana pengembang masih bersemangat membangun rumah bagi MBR. Amin mengakui sampai kini ada sejumlah calon konsumen MBR proyeknya yang gagal memiliki hunian lantaran masalah BI checking tersebut. "Masyarakat masih kurang paham dengan BI checking ini," katanya. 

Di sisi lain, kebijakan pemerintah dalam menetapkan harga rumah bagi MBR yang sama di semua daerah dinilai merugikan pengembang. Menurutnya, upah miminum regional (UMR) buruh di setiap daerah berbeda. Di daerah yang makmur, UMR pekerja akan lebih tinggi dibanding daerah lainnya yang kurang makmur. "Harga rumah perlu direvisi sesuai UMR setempat," kata Amin. 

Kondisi serupa juga diharapi pengembang dalam membangun rumah susun. Sampai kini, belum ada pengembang yang tertarik membangun rumah sederhana milik (Rusunami). Hal itu akibat dari pembatasan harga permeter hunian vertikal tersebut  sehingga membuat pengembang enggan membangun Rusunami. "Perlu ada insentif supaya pengembang mau membangun rumah rakyat ini," kata Amin. 

Direktur pemasaran Perumnas, Muhammad Nawir beberapa waktu lalu menyebutkan beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung dan Surabaya sudah saatnya memiliki rusunami di tengah kota. Hal itu akan membantu warga agar tempat tinggal mereka tidak jauh dari tempatnya bekerja.

Namun, Rusunami memiliki kendala Perda daerah yang kurang mendukung dibuatnya Rusunami. Perlu koordinasi yang baik antara instansi terkait sehingga dapat menghasilkan aturan dan perijinan yang dapat merangsang gairah pengembang untuk membangun rusunami.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement