Jumat 02 Jun 2017 01:49 WIB

Gapki Sesalkan Kampanye Negatif Sawit Juga Datang dari Lokal

Rep: Frederikus Bata/ Red: Budi Raharjo
Hamparan perkebunan kelapa sawit membentuk pola terlihat dari udara di Provinsi Riau, Selasa (21/2).
Foto: Antara/FB Anggoro
Hamparan perkebunan kelapa sawit membentuk pola terlihat dari udara di Provinsi Riau, Selasa (21/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyayangkan kampanye negatif tentang kelawa sawit di Tanah Air yang justru datang dari dalam negeri sendiri. Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono mengatakan, di dalam negeri sendiri masih banyak kelompok masyarakat yang berbagai kampanye negatif terkait sawit.

Joko menerangkan berbagai isu negatif tersebut antara lain terkait kebakaran hutan, pengelolaan lahan gambut, penguasaan segelintir korporasi besar atau konglomerasi dalam sektor perkebunan kelapa sawit nasional. Kemudian terkait suku asli, hak masyarakat adat dan ulayat, isu pertahanan dan tata ruang wilayah, ketenagakerjaan, dan berbagai isu sosial lainnya.

"Terkait kampanye negatif di dalam negeri ini, kita patut iri dengan Malaysia di mana di negeri jiran yang menjadi produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia tersebut, seirama dengan langkah pemerintah dan parlemen mereka, seluruh kelompok masyarakat satu suara mendukung penuh keberadaan dan keberlanjutan sektor perkebunan kelapa sawit sebagai motor penggerak perekonomian negara," tutur Joko lewat keterangan tertulis, Kamis (1/6).

Ia memahami butuh waktu mencapai sinergi yang diimpikan seperti di negara tetangga. Caranya menurut dia, semua pihak saling mendukung, menunjukkan hal positif dari keberadaan sawit.

Ia memaparkan Data Oil World pada 2016, konsumsi minyak nabati dunia mencapai 177 juta juta ton dengan rerata tambahan kebutuhan konsumsi mencapai 5 juta ton per tahun. Kebutuhan konsumsi tersebut antara lain dipenuhi oleh minyak sawit sebesar 64 juta ton, soyabean 53,15 juta ton, rapeseed 27,65 juta ton, minyak bunga matahari 15,55 juta ton, dan sisanya oleh minyak nabati lain seperti kacang, kelapa, dan zaitun.

Bahkan di Amerika dan Uni Eropa sendiri, saat ini ada lebih dari seratus jenis produk makanan dan produk-produk consumer goods nonpangan seperti kosmetik, pasta gigi, deterjen, dan banyak lagi, yang berbahan baku minyak sawit. Saat ini hingga mungkin 20 tahun lagi, industri consumer goods yang berbasis di Amerika dan negara-negara Eropa Barat masih akan sangat menggantungkan keberlangsungan usahanya dengan bahan baku minyak sawit.

Dibandingkan tanaman minyak nabati lain, produktivitas sawit adalah yang tertinggi yaitu 3,5 ton minyak sawit per hektare per tahun. Dengan produktivitas yang tinggi tersebut, hanya dengan lahan seluas 20 juta hektare di seluruh dunia, perkebunan kelapa sawit bisa menghasilkan minyak nabati lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman pesaing.

Tahun 2016, produksi minyak sawit dunia mencapai 60,5 juta ton atau menguasai pangsa pasar 29,4 persen dari total produksi minyak nabati dunia. Bandingkan dengan soyabean yang menguasai lahan 121,9 juta hektare, hanya menghasilkan 51 juta ton atau 24,8 persen dari total produksi minyak nabati dunia.

Joko mengungkapkan guna memenuhi pertambahan kebutuhan minyak nabati dunia setiap tahunnya, hampir seluruh perkebunan minyak nabati melakukan ekspansi lahan. Dalam kurun waktu 2012-2016, data dari Oil Wolrd, ekspansi lahan untuk perkebunan kedalai mencapai 16,29 juta hektar. Dalam kurun waktu yang sama, ekspansi perkebunan kelapa sawit di dunia mencapai 3,1 juta hektar.

Guna memenuhi pertambahan kebutuhan konsumsi minyak nabati dunia dengan tetap menahan laju deforestasi, mengembangkan perkebunan kelapa sawit lebih baik dibandingkan dengan mengembangkan perkebunan kedelai atau tanaman minyak nabati lainnya.

Dari aspek suplai atau pasokan, negara-negara konsumen minyak sawit terbesar seperti India, Cina, Pakistan, juga Uni Eropa, menurutnya tidak mungkin bisa menggantikan minyak sawit dengan minyak nabati lainnya. "Karena itu, dunia tidak mungkin tanpa minyak sawit," tutur Joko.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement