REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan siap menjalankan kebijakan penyederhanaan mata uang rupiah atau redenominasi. Hanya saja BI masih menunggu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut.
Kepala Group Kebijakan Pengelolaan Uang Departemen Pengelolaan Uang BI Decymus mengatakan, redenominasi tepat dilakukan saat kondisi perekonomian nasional stabil. "Jadi masyarakat nggak ada pikiran yang bukan-bukan," ujarnya kepada Republika, Kamis, (1/6).
Menurutnya, perekonomian stabil ketika angka inflasi berada di level rendah dan kondisi makro ekonomi pun terjaga. Ia menambahkan saat ini cukup stabil namun waktu paling telat melakukan redenominasi sebenarnya dua tahun lalu.
Decymus menegaskan, redenominasi rupiah akan meningkatkan efisiensi. "Efisiensinya dari sisi kedaulatan, uangnya akan lebih sedikit tapi bisa beli banyak," tambahnya.
Dirinya mengungkapkan, BI sudah pernah mendiskusikan hal ini kepada pemerintah. Hanya saja bank sentral tidak bisa mengajukan RUU secara langsung sebab bukan bertindak sebagai inisiator. "Inisiatornya tetap pemerintah dan DPR," ujar Decymus.
Ia menuturkan, BI juga sudah sejak lama melakukan sosialisi kepada masyarakat mengenai redenominasi kurs rupiah. "Hanya saja untuk sosialisasi yang masif, tentu kita tidak mau mendahului keputusan DPR terhadap RUUnya," tambahnya.
RUU redenominasi sebetulnya pernah masuk Prolegnas pada dua tahun lalu. Berdasarkan Prolegnas itu, redenominasi dijalankan dengan menghilangkan tiga desimal di belakang angka, misal Rp 1.000 menjadi 1 atau Rp 12.500 menjadi Rp 12,5.
Setelah redenominasi dijalankan, kata Decymus, secara alami uang lama akan hilang dari peredaran tanpa harus ditarik langsung. "Hal itu karena, setelah uang emisi baru masuk, lama-kelamaan uang lama tidak laku lagi. Jadi masyarakat tidak sadar, masa berlaku uang lama kita cabut," jelasnya.