Kamis 11 May 2017 19:10 WIB

Bisakah Indonesia Bebas Pajak? Ini Penjelasan Kwik Kian Gie

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Ketua Dewan Pembina Yayasan Institut Bisnis Indonesia Kwik Kian Gie memberikan kata sambutan saat menjadi keynote speech dalam Seminar Nasional Perpajakan Pasca Tax Amnesty yang digelar di Auditorium Kwik Kian Gie School of Business, Jakarta, Rabu (10/5).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ketua Dewan Pembina Yayasan Institut Bisnis Indonesia Kwik Kian Gie memberikan kata sambutan saat menjadi keynote speech dalam Seminar Nasional Perpajakan Pasca Tax Amnesty yang digelar di Auditorium Kwik Kian Gie School of Business, Jakarta, Rabu (10/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian masyarakat Indonesia barangkali sempat bertanya-tanya soal skema pemajakan di Indonesia. Bahkan, ada anggapan bahwa sebetulnya tidak ada wajib pajak di Indonesia yang rela harta miliknya dikenai pajak. Barangkali juga, ada sebagian dari wajib pajak yang diam-diam berharap agar Indonesia bisa bebas pajak. Artinya, seluruh harta dan aset yang dimiliki bisa utuh lantaran bebas dari pengenaan pajak. Lantas apakah memang dimungkinkan Indonesia bebas pajak?

Ekonom Senior Kwik Kian Gie mencoba memberikan jawaban bagi siapa saja yang diam-diam ingin Indonesia bebas pajak. Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid ini menjelaskan, pajak merupakan satu dasar terpenting bagi pembangunan bangsa. Menurutnya, ketika manusia sudah memilih hidup berorganisasi dan hidup bernegara dan berbangsa, maka pajak merupakan satu bentuk sumber penerimaan negara yang ujungnya akan dimanfaatkan bersama-sama untuk melakukan pembangunan.

"Begitu keputusan diambil sebagai negara dan bangsa, seprimitif apapun, bangsa itu membutuhkan tentara, polisi, pengadilan. Sehingga tidak ada bantahan lagi bahwa pajak itu penting bukan main (untuk membiayai)," kata Kwik dalam Seminar Nasional "Perpajakan Pasca Tax Amnesty" yang diselenggaran oleh Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie bekerja sama dengan Republika.co.id, Rabu (10/5).

Tak hanya itu, Kwik mengatakan, masyarakat Indonesia mengakui dan menjunjung Pancasila yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Kwik menyebutkan, oleh Bung Karno makna Pancasila juga mengandung semangat gotong royong. Menurutnya, gotong royong yang disimbolkan oleh Pancasila dipraktikkan melalui pajak.

"Mereka yang mampu (secara ekonomi) akan bayar pajak yang dipakai cuma-cuma oleh semua rakyat. Ini digunakan untuk membiayai fasilitas publik," ujar Kwik.

Hanya saja, Kwik mengakui bahwa penggunaan pajak memang harus diawasi sepenuhnya oleh rakyat sendiri. Menurutnya, selama masih banyak praktik korupsi di Indonesia maka wajar bila masyarakat akan selalu mempertanyakan "Saya ini membayar pajak untuk siapa?"

Kwik kemudian memberi contoh di sejumlah negara di Eropa dan Amerika. Fasilitas publik seperti jalan tol (highway) bisa dimanfaatkan pemilik kendaraan tanpa dikenakan tarif. Hal ini berbeda dengan Indonesia di mana penggunaan jalan tol dikenakan biaya. "Jalan publik dijadikan sasaran untuk membuat laba perusahaan," ujar Kwik.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pajak memang merupakan satu landasan penting dalam membangun negara. Ia mengutip tulisan James Robinson dan daron Acemoglu dalam buku mereka "Why Nations Fail". Tulisan mereka, kata Yustinus, mengulik berbagai fakta di dunia tentang negara-negara yang berhasil bertahan hidup dan negara-negara yang susah payah bertahan hidup.

Dalam buku tersebut, Yustinus menjelaskan, negara-negara yang bisa bertahan dan melakukan berbagai pembangunan adalah negara yang menjalankan sistem politik inklusif dan politik yang nonekstraktif. Di satu sisi, Yustinus juga mengutip pemikiran Antropolog, Janet Roitman. Ia menyebutkan, tak sedikit contoh negara-negara di Afrika yang tetap miskin meski memiliki sumber daya alam yang berlimpah.

"Kenapa? Karena negara yang sumber daya alamnya berlimpah itu cenderung punya pemerintahan yang otoriter dan kalau militer yang memback up maka yang mengekstraksi dan kaya ya kelompok oligarkis aja. Karena yang kaya akan mendapat manfaat," ujar Yustinus.

Bahkan, ia juga menyebutkan bahwa negara kerajaan seperti Arab Saudi yang sangat bergantung pada industri minyak bumi, kini sudah mulai menyiapkan subsidi minyak dan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap produk yang dijual di negaranya.

Yustinus mengungkapkan, yang menarik dari pajak adalah sifatnya yang dialektik, di mana pembayar pajak memiliki hak untuk menagih kepada pemerintah atas apa yang telah mereka korbankan. Artinya, siapa saja yang sudah membayar pajak maka ia berhak mengontrol pemerintah dan menagih progres pembangunan atas penerimaan pajak yang sudah didapat negara.

"Jadi dalam pajak itu ada dimensi atau nilai demokrasinya. Saya membayar pemerintah, saya boleh mengontrol, saya boleh menuntut dan klau tidak saya tidak akan pilih lagi," kata Yustinus.

Tak hanya itu, kata Yustinus, penelitian yang dilakukan Deborah Brautigam menyebutkan bahwa negara yang menjalankan sistem perpajakan memiliki kecenderungan memiliki masyarakat sipil yang kuat.

"Tingkat penerimaan pajak berbanding lurus dengan turunnya angka korupsi dan layanan publik yang baik. Nah indikatornya perlu kita bangun, gimana kita sebagai tax payer memaksa wakil kita di DPR untuk berpikir. Karena mereka dibayar untuk berpikir, bukan justru untuk mengakali kita," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement