Rabu 26 Apr 2017 16:28 WIB

Kenaikan Impor Barang Konsumsi Dinilai Sebagai Tanda Turunnya Daya Saing

Pekerja menunjukkan daging kerbau saat kampanye pangan di Jakarta.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Pekerja menunjukkan daging kerbau saat kampanye pangan di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia masih menjadi pasar menggiurkan bagi banyak negara. Rangkaian perjanjian perdagangan bebas regional membuka pintu impor makin lebar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai impor nonmigas pada Maret 2017 naik signifikan 24,94 persen menjadi 11,10 miliar dolar AS dibanding bulan sebelumnya 8,88 miliar dolar AS. Penyumbang kenaikannya berasal dari impor ponsel, plastik sampai kapal laut. Nilai impor 13,36 miliar dolar AS di Maret merupakan nilai impor bulanan tertinggi sejak Januari 2015.

Namun Kementerian Perdagangan menyebut kenaikan impor positif lantaran disokong kenaikan impor bahan baku juga kurang pas. Sebab, impor bahan baku, bahan penolong, juga sejatinya masih secuil. Barang konsumsi tetap mendominasi. Terutama dari Tiongkok dengan kontribusi lebih dari 25 persen dari total impor.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati memberi sinyal, kenaikan impor, terutama barang konsumsi menjadi tanda turunnya daya saing produk dalam negeri. Kondisi ini, menurut Enny, berbahaya. "Apalagi di saat bersamaan, kinerja industri dalam negeri juga menunjukkan indikasi penurunan belum pulih," kata dia dalam keterangannya, Selasa (25/4).

Di sisi lain, dalih pemerintah yang menyebut impor naik juga lantaran persiapan menyambut Ramadhan dan Lebaran, juga tidak tepat. Sebab barang yang masuk tidak berkorelasi dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas harga terutama sektor pangan selama Lebaran dan Ramadhan yang selama ini jadi fokus pemerintah.

"Oke untuk antisipasi lebaran , pertanyaannya nanti bagaimana stabilitas harga apakah signifikan tidak. Menjelang Ramadhan itu untuk stabilitas harga pandan, dan impornya bukan dari Tiongkok, tapi dari Thailand, atau Vietnam. Sementara ini mayoritas dari Tiongkok, jangan-jangan salah kebijakan lagi," kata Enny.

Kenaikan importasi dari Cina, kata Enny, sangat luar biasa. Porsi dari Cina 25 persen, sementara total dari ASEAN saja 20 persen. Enny juga menyoroti kenaikan signifikan mencapai 343 persen lebih untuk kategori kapal laut dan bangunan terapung. Kenaikan ini tentu saja memunculkan tanda tanya besar karena diduga kenaikan fantastis itu berkaitan dengan impor kapal bekas. Padahal, kenaikan impor kapal jelas memukul industri galangan kapal nasional.

"Per definisi, bangunan terapung itu juga tidak jelas, apa yang dimaksud bangunan terapung. Kita curiga lonjakan impor drastis itu berkaitan impor kapal bekas, ini kan aneh, padahal pemerintah mendorong industri galangan kapal," tegas Enny.  

Kata Enny, dengan fakta itu, sejatinya kenaikan impor bukan berita bagus. Kalau pun ada kenaikan impor seperti peralatan mesin, peralatan listrik, hingga besi dan baja, memang bisa dikaitkan dengan menggeliatnya infrastruktur. Tetapi, tetap saja, kenaikan impor itu dinikmati negara lain karena menggerogoti devisa.

"Ujungnya juga menghantam industri dalam negeri nasional. Yang menikmati bukan perekonomian domestik. Sementara dampak infrastruktur juga belum ketahuan seperti apa lantaran yang dibangun jalan tol bukan jalur kereta api," ucap Enny.

Sekali lagi, Enny menegaskan, dari sisi struktur kenaikan impor yang luar biasa, sejatinya lebih condong ke konsumsi bukan kebutuhan mendorong sektor manufaktur nasional. Soal perminttan tarif bea masuk nol persen untuk komponen kapal demi meningkatkan daya saing, boleh saja diberikan asal selektif dan jangan sampai kontraproduktif dengan mengimpor kapal bekas.

"Misal pelabuhan kita akan disinggahi kapal besar, boleh saja dihubungkan dengan biaya logistik, tapi orang sering lupa, yang turun itu bukan biaya antarpulau namun barang impornya yang makin murah, kompetitif. Tidak ada yang bisa dibanggakan," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement