REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) kini tengah mengkaji kembali batas gaji pokok untuk program Kredit Perumahan Rakyat dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP). Sebelumnya batasan penghasilan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ingin mengajukan KPR FLPP sebesar Rp 4 juta untuk rumah tapak, lalu Rp 7 juta untuk rumah susun dan berlaku sama secara nasional.
Direktur Konsumer Bank Jabar Banten (BJB) Fermiyanti menyatakan akan mendukung apapun hasil kajian Kementerian PUPR. Hanya saja, ia ragu perbankan akan kesulitan mencari rumah murah dan tingkat risikonya pun menjadi lebih tinggi.
"Saya khawatir harganya nggak masuk, yang kemarin saja dengan batas gaji Rp 4 sampai Rp 7 juta dan harga rumahnya kisaran Rp 116 sampai Rp 123 juta sudah ngepas banget," jelasnya kepada Republika, Senin, (3/4).
Ia menambahkan, sebaiknya kementerian berdiskusi dulu dengan para bank penyalur KPR FLPP. Hal itu untuk memastikan apakah, bank bisa mendapatkan hunian layak dengan harga minimalis. "Bahkan sekarang para developer suka kesulitan mencarinya. Akhirnya mereka bangun rumah di daerah yang jauh dari tempat kerja," tutur Fermi.
Dirinya mencontohkan, sebelumnya dengan gaji Rp 4 juta cicilan para debitur untuk KPR FLPP sebesar Rp 700 ribu per bulan, bila batas gaji diturunkan menjadi Rp 3 juta misalnya, maka sisa uang debitur untuk kehidupan sehari-hari semakin kecil.
Meski begitu, Fermi mengaku BJB sampai sekarang masih semangat menyalurkan KPR FLPP. "Saya lebih suka yang kolektif, jadi sekaligus satu perusahaan ajukan KPR FLPP di kita nanti cicilannya diambil dari gaji," tambahnya.
Sementara itu, terkait bantuan dari Bank Dunia untuk KPR FLPP, Fermi mengaku masih diproses. "Belum jalan, saya pun harus nunggu," tutur Fermi.