REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Inflasi pangan atau volatile food inflation menjadi hal menakutkan bagi suatu negara, tak terkecuali Indonesia. Namun ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk menekan inflasi tersebut dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Pertanian Agung Hendriadi menjelaskan, cara mengatasinya adalah dengan reformasi pertanian. Maksudnya, pembenahan dilakukan baik di tingkat produsen hingga tangan konsumen.
Di tingkat produsen, diberlakukan pengendalian harga dengan penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga dasar. Keduanya ditetapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan margin yang wajar diterima oleh petani dan tidak mendongkrak inflasi.
Sedangkan di tingkat konsumen, ditetapkan harga acuan pangan strategis melalui Permendag No.63 Tahun 2016. "Penetapan harga acuan ini diharapkan mampu mengendalikan margin yang diterima oleh pedagang agar konsumen menerima harga yang wajar," kata dia kepada Republika, Jumat (31/1).
Contohnya, HPP untuk gabah kering panen Rp 3.700 per kilogram (kg) sedangkan harga beras di pasar induk ditetapkan Rp 7.300 per kg. Selama ini, harga tinggi diakibatkan banyaknya middle man di antara petani dan konsumen. Untuk itu, Kementerian Pertanian memangkas rantai pasok dari 9 titik menjadi 3 titik guna mengendalikan distribusi pangan.
Caranya dengan membangun Toko Tani Indonesia (TTI). Agung menambahkan, pada 2016 telah terbangun 1.218 unit TTI dan ditargetkan sebanyak 1.000 unit TTI dibangun tahun ini dan tengah dalam proses. Melalui TTI, konsumen bisa mendapatkan harga pangan murah berkualitas dan terjangkau dengan lokasi tempat tinggal.
Reformasi pertanian juga berdampak signifikan terhadap jumlah produksi komoditas pertanian. Tercatat, sejak 1984 hingga 2014, pembangunan pertanian Indonesia bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Namun kini, sepanjang 2015 hingga 2016, Indonesia membalik posisi itu.
"Indonesia mampu meningkatkan produksi pangan strategis sehingga volume impor turun, bahkan tidak impor untuk beras, bawang, dan cabai, serta impor jagung ditekan 66 persen," katanya.
Berdasarkan data Kementan dalam dua tahun terakhir, produksi padi meningkat 11 persen, jagung naik 21,8 persen, cabai naik 2,3 persen dan bawang merah naik 11,3 persen. Tak mau kalah, peningkatan produksi komoditas unggulan peternakan daging sapi naik 5,31 persen, telur ayam naik 13,6 persen daging ayam naik 9,4 persen dan daging kambing meningkat sebesar 2,47 persen. Begitu pun produksi komoditas perkebunan, tebu naik 14,42 persen, kopi naik 2,47 persen, karet 0,14 persen dan kakao naik 13,6 persen
Kendati demikian, kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan. Namun ia menegaskan, penurunan kontribusi tidak selalu mengartikan tidak berkembangnya sektor pertanian, mengingat capaian produksi yang cukup tinggi dua tahun terakhir.
Penurunan kontribusi terhadap PDB ini lebih dikarenakan pertumbuhan sektor industri dan jasa yang umumnya di banyak negara berkembang berkembang lebih pesat dibanding pertumbuhan di sektor pertanian. "Hal ini tentu berakibat menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Nasional," kata dia.
Sebagai contoh, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB di beberapa negara pada 1995 dibanding 2014 umumnya mengalami penurunan. World Bank melaporkan, untuk Malaysia turun dari 12,9 persen menjadi 8,9 persen, Cina 19,6 persen menjadi 9,1 persen, Vietnam 27,2 persen menjadi 17,7 persen dan Kamboja 49,6 persen menjadi 30,5 persen.
Hal yang sama juga berdampak kepada penurunan serapan tenaga kerja. Meski serapan tenaga kerja pada sektor pertanian Indonesia tahun 1991 sebesar 55,1 persen dan turun menjadi 31,9 persen pada 2016, produksi pangan meningkat akibat produktivitas dan luas lahan, termasuk pemanfaatan teknologi. "Hal itu pula yang terjadi di negara lain," tegasnya.
Pada periode 1994 sampai dengan 2010, World Bank melaporkan, tenaga kerja sektor pertanian di Cina turun dari 50 persen menjadi 3 persen, Thailand turun dari 56 persen menjadi 38 persen dan Filipina 45 persen menjadi 33 persen. Situasi ini, menurut peneliti Center for South East Asia Study yang mendalami migrasi tenaga kerja di sektor pertanian negara-negara Asia, tidak perlu dikhawatirkan akan menurunkan pertumbuhan produksi pangan asalkan teknologi yang diperlukan dipersiapkan dengan baik.
Ia menambahkan, sedikitnya 180 ribu alat mesin pertanian disiapkan Kementan untuk mengurangi beban kerja petani sekaligus meningkatkan efisiensi produksi. Semua upaya tersebut diharapkan mampu menekan tingginya inflasi pangan dan meningkatkan pertumbuhan produksi pangan dalam dua sampai tiga tahun ke depan.