REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah Indonesia makin mantap untuk ikut terlibat dalam forum Otomatisasi Keterbukaan Informasi keuangan (AEoI) pada 2018 mendatang. Dorongan yang semakin besar muncul setelah topik soal ini kembali dibahas dalam pertemuan G20 level Menteri Keuangan dilakukan di Baden-baden, Jerman, sejak pekan lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang mewakili Indonesia, menyebutkan bahwa negara-negara anggota G20 menunjukkan komitmennya untuk melaksanakan AEoI dan perlawanan atas Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Secara sederhana, BEPS merupakan strategi perencanaan pajak yang memanfaatkan celah aturan domestik, lalu memindahkan keuntungannya ke negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah.
Sri mengatakan, dirinya mencoba meyakinkan negara anggota G20 atas komitmen Indonesia dengan capaian yang didapat dari program amnesti pajak. Dari pengampunan pajak ini, lanjutnya, didapat total deklarasi harta dan aset lebih dari Rp 4 ribu triliun. Sepertiga dari total deklarasi harta, atau senilai Rp 1.016 triliun harta dideklarasikan di luar negeri. Artinya, lanjutnya, Indonesia juga menjadi korban dari praktik BEPS di mana banyak keuntungan yang didapat dari perusahaan multinasional yang justu disimpan di luar negeri
"Indonesia akan gunakan BEPS dan AEoI sebagai sarana bagi otoritas pajak untuk kurangi ruang bagi para penghindar pajak untuk melarikan kewajiban pajak mereka ke luar negeri," ujar Sri di Kementerian Keuangan, Rabu (22/3).
Namun, keikutsertaan Indonesia ke dalam AEoI harus dibayar Indonesia dengan membuka pintu kerahasiaan perbankan. Sri menyebutkan, Indonesia membutuhkan regulasi primer agar bisa memastikan otoritas pajak Indonesia memiliki kemampuan dalam membuka data perbankan wajib pajak dalam negeri maupun wajib pajak asing yang ada di Indonesia. Apalagi, Undang-Undang yang mengatur perbankan umum dan syariah tidak memungkinkan adanya pembukaan data secara otomatis.
"Untuk bisa mengikuti AEoI, maka seluruh peraturan perundang-undangan harus selesai di Mei ini sebetulnya, yaitu peraturan perundang-undangan mengenai akses informasi. Indonesia berarti harus hilangkan bank secrecy atau kerahasiaan bank," katanya.
Sementara itu, syarat kedua yang harus dipenuhi Indonesia adalah common reporting system dan perbaikan sistem teknologi informasi. Bila Indonesia tak bisa memenuhi seluruh syarat tersebut, termasuk adanya peraturan primer dan perbaikan di berbagai lini, maka Indonesia berisiko untuk tidak diterima dalam berjalannya AEoI.
"Implikasinya adalah kita tidak dapat treatment yang resiprokal, artinya kita tidak akan dapat info dari luar karena kita tidak mampu dapatkan info dari kita sendiri," kata Sri.
Diberitaakan sebelumnya, rencana pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) diyakini akan memperbaiki peringkat Indonesia dalam 'Jurisdiction ratings' yang diterbitkan oleh The Global Forum OECD. Peringkat ini menunjukkan pemenuhan syarat negara-negara dunia dalam mengaplikasikan pertukaran informasi perbankan dan keuangan. Bila saat ini Indonesia masih di level ketiga, yakni partially compliant, maka penerbitan Perppu soal pertukaran informasi keuangan akan membawa Indonesia naik ke level kedua atau largely compliant.
Indonesia bakal meninggalkan deretan negara-negara yang saat ini ratingnya setara seperti Kosta Rika, Samoa, dan Turki. Sedangkan di level kedua, Indonesia bakal setara dengan negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Malaysia, Inggris, Singapura, dan Swiss. Di level teratas atau compliant, masih bertengger negara-negara dengan pemenuhan pertukaran informasi keuangan yang mumpuni seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Kanada. Pemeringkatan yang dibuat OECD ini khusus untuk pertukaran data keuangan berdasarkan permintaan atau by request. Meski begitu, perbaikan peringkat akan mendorong Indonesia bisa diterima dalam jajaran negara yang akan mengaplikasikan Otomatasiasi Keterbukaan Informasi keuangan (AEoI) di tahun 2018 mendatang. N Sapto Andika Candra