Ahad 19 Mar 2017 21:56 WIB

Pemerintah Diimbau Beri Batasan Kuota Taksi Daring

Rep: Bowo Priadi/ Red: Dwi Murdaningsih
  Petugas melakukan pengecekan saat uji uji kendaraan bermotor (KIR) Taksi berbasis aplikasi daring (online) di Pengelola Pengujian Kendaraan Bermotor, Pulo Gadung, Jakarta Timur, Senin (1/8).(Republika/Yasin Habibi)
Petugas melakukan pengecekan saat uji uji kendaraan bermotor (KIR) Taksi berbasis aplikasi daring (online) di Pengelola Pengujian Kendaraan Bermotor, Pulo Gadung, Jakarta Timur, Senin (1/8).(Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pemerintah diimbau untuk melakukan pembatasan kuota transportasi daring. Hal ini penting dilakukan guna menghindari buruknya pelayanan dan gejolak yang muncul di lapangan. Wakil Ketua  Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno mengatakan, pembatasan kuota ini dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terjadi over supply transportasi daring.

“Saya mengkhawatirkan, jika terjadi over supply bisa berujung saling berebut penumpang, saling banting tarif yang pada saatnya berujung pada buruknya pelayanan,” ujar dia di Semarang, Ahad (19/3).

Menurut Djoko, jika persoalan kuota transportasi daring ini dibebaskan, maka tidak akan mendukung pembenahan transportasi umum yang kini sedang terus berbenah. Ia bahkan melihat, pembebasan kuota ini juga cenderung menambah jumlah kendaraan pribadi di jalan raya. Apalagi transportasi daring menginginkan sebanyak mungkin kendaraan ikut dalam programnya tanpa memikirkan keberlanjutannya.

Belum lagi, jika yang ikut program transportasi daring ini merupakan mobil cicilan yang setiap bulan wajib mengangsur. “Jika pendapatan tiap bulan ini akhirnya tidak mencukupi maka mobil tersebut disita dan pemiliknya bangkrut karena tidak ada jaminan,” kata dia.

Ia juga menyampaikan, untuk menentukan kuota ini bisa dilakukan melalui kajian kebutuhan (demand) terhadap layanan transportasi daring. Sebab jika supply melebihi demand, tentunya akan berakhir dengan kerugian. Oleh karena itu harus ada keseimbangan antara supply dan demand. Perusahaan aplikasi tidak menanggung berbagai risiko tersebut, karena mereka tidak investasi mobil.

“Inilah bedanya dengan taksi konvensional,” kata dia.

Djoko juga mengatakan, mulai 1 April 2017, revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub)  Nomor 32 Tahun 2016 bakal dilakukan dengan menerima berbagai masukan dari berbagai kalangan. Terkait hal ini, ia pun mengusulkan agar istilah taksi konvensional diganti dengan taksi resmi (legal) sesuai dengan UU Nomor 22/ tahun 2209 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Saat ini ada taksi resmi di Kota Semarang dan Kota Solo yang sudah ber-aplikasi, yakni taksi Kosti. Moda transportasi ini juga cukup banyak peminatnya meski kalah pamor dibandingkan dengan taksi daring yang bermodal besar. Sebab Kosti ini dikelola oleh para sopir dan merupakan koperasi taksi milik sopir. Oleh karena itu negara wajib melindungi pengusaha yang ada maupun masyarakat yang akan menggunakannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement