REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve (the Fed) menjadi sentimen penguatan nilai tukar rupiah pada Kamis (16/3). Kenaikan bunga yang sudah diantisipasi tersebut tidak memberi kejutan ke pasar.
Suku bunga the Fed naik sebesar 25 basis poin dari 0,75 menjadi 1,0 persen. Ini ketiga kalinya The Fed menaikkan suku bunga sejak krisis keuangan global pada 2008. Namun, kondisi pasar global justru terlihat stabil. Nilai tukar rupiah pun dibuka menguat 48 poin atau 0,36 persen ke level Rp 13.316 per dolar AS di awal perdagangan hari ini. Bahkan pada pukul 10.00 WIB, kurs rupiah terpantau semakin menguat di Rp 13.336 per dolar AS.
Chief Economist SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Sugandi menilai, penguatan rupiah dan mata uang kebanyakan negara Asia hari ini adalah karena pernyataan Gubernur Federal Reserve Janet Yellen. "Yellen mengatakan bahwa US Fed bersedia untuk menjalankan kebijakan moneter yang akomodatif," ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis, (16/3).
Ia menjelaskan, 'akomodatif' tersebut artinya tidak secara agresif mengetatkan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga Fed Fund Rate AS (US FFR). Yellen pun mengatakan, US FFR bisa menoleransi inflasi sedikit di atas target inflasi 2 persen untuk sementara waktu.
Menurut Eric, kenaikan suku bunga ini sudah diantisipasi oleh kebanyakan pelaku pasar finansial, sehingga tidak mengejutkan pasar. "Untuk Indonesia, ini hal baik karena kenaikan suku bunga US FFR Maret ini tidak memicu capital outflows yang tekan rupiah," tambahnya.
Ia memprediksi, Bank Indonesia (BI) masih akan mempertahankan suku bunga acuannya (BI 7 Day Repo Rate/BI-RR) di 4,75 persen pada bulan ini. Hal ini karena, BI masih akan melihat situasi global dan tekanan inflasi.
Meski demikian, Eric menuturkan, ke depan masih ada ruang bagi BI-RR untuk turun sebesar 25 basis poin. "Kalau pun tidak turun, BI 7 Day Repo Rate akan stay tahun ini di 4,75 persen, tapi saya tidak expect naik tahun ini," ujarnya.