REPUBLIKA.CO.ID,MAKASSAR -- Indonesia termasuk dalam 10 besar negara dengan cadangan bauksit, nikel dan tembaga yang paling banyak di dunia. Kendati begitu, Indonesia justru belum mampu mengembangkan sendiri hilirisasi industri pengolahan dan pemurnian atau smelter untuk sumber daya alam tersebut.
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan, mengakui bahwa pengembangan smelter saat ini masih bergantung pada tenaga kerja asing karena mereka yang menguasai teknologinya. Kendati begitu, ia memastikan bahwa kehadiran tenaga asing tersebut hanya untuk melakukan transfer teknologi sehingga tak bersifat permanen.
"Misalnya tadinya ada 100 tenaga asing, akan berkurang jadi 15 dalam lima tahun. Mereka bertahap karena bagaimanapun juga teknologi smelter ini kita tidak pernah punya sebelumnya dan tidak ada ahli dari orang kita yang bisa," ujar Putu, dalam acara seminar nasional Pengembangan Industri Berbasis Smelter dan Stainless Steel di Universitas Hasanuddin, Makassar, Kamis (2/3).
Putu menyebut bahwa mengolah tambang nikel tak sesederhana seperti mengolah padi menjadi nasi. Dibutuhkan teknologi yang tepat agar nikel dapat diolah sehingga menjadi komoditas turunan yang bernilai tinggi. "Kalau teknologi yang digunakan belum terbukti bisa lumpur yang keluar." Oleh karenanya, Putu mendorong agar ada pengembangan pusat desain dan rekayasa untuk teknologi pengolahan sumber daya mineral, khususnya logam yang kaya akan nikel.
Kementerian Perindustrian mencatat saat ini ada 32 smelter yang ada di Indonesia, namun baru 23 di antaranya yang sudah beroperasi penuh. Sisanya masih dalam tahap pengembangan. Nilai investasi yang masuk dari 32 smelter tersebut diperkirakan mencapai 18 miliar dolar AS. Selain padat modal, industri hilir dari aktivitas pertambangan tersebut juga padat karya karena mampu menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 28 ribu orang.