Kamis 02 Mar 2017 13:48 WIB

Pendidikan Hingga MCK untuk Kaya Miskin di Indonesia Timpang

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan pemaparan saat menjadi pembicara utama dalam peluncuran laporan ketimpangan di Jakarta, Kamis (23/2).
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan pemaparan saat menjadi pembicara utama dalam peluncuran laporan ketimpangan di Jakarta, Kamis (23/2).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah mengakui ketimpangan kesejahteraan ekonomi masih menjadi pekerjaa rumah terberat dalam memeratakan kue pembangunan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, ketimpangan di Indonesia tidak hanya semata soal ketimpangan pengeluaran untuk setiap rumah tangga, tetapi lebih ke akar lagi menyangkut akses kesehatan, pendidikan, bahkan akses terhadap fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus) yang layak.

Sri menjelaskan, dilihat dari faktor geografis, pertumbuhan ekonomi serta persoalan kemiskinan dan pengangguran masih belum merata di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi misalnya, masih terpusat di Jawa dan Sulawesi. Jawa yang merupakan 58 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mampu tumbuh relatif sama dengan angka pertumbuhan nasional Indonesia. Belum lagi, tingkat kemiskinan dan pengangguran di Jawa masih lebih baik dibanding daerah lain.

Sementara Pulau Sumatra tercatat tumbuh 4,3 persen dengan tingkat kemiskinan 11,1 persen dan pengangguran 5,2 persen. Sulawesi tercatat dengan angka pertumbuhan ekonomi tertinggi yakno 7,4 persen. Namun Sulawesi bukan tanpa ganjalan. Meski pertumbuhan ekonominya tertinggi, Sulawesi masih memiliki PR pengangguran yang masih tinggi.

Sedangkan Pulau Kalimantan yang masih tergantung pada komoditas pertambangan terpaksa tumbuh rendah tahun ini dengan angka 2,0 persen. Kemiskinan di sana juga tercatat 6,5 persen dan tingkat pengangguran relatif rendah 1,2 persen. Bali dan NTT dengan pertumbuhan 5,9 persen harus dibarengi dengan tingkat kemiskinan yang sangat tinggi yaitu 14,7 persen. Sementara Papua, Sri mengungkapkan bahwa tingkat kemiskinan di sana masih tinggi yakni 22 persen.

"Kemiskinan terutama di daerah NTT dan Papua, dan tingkat pengangguran yang relatif rendah dibanding nasional yaitu 3 persen," ujar Sri di Jakarta, Kamis (2/3).

Tak hanya soal pertumbuhan ekonomi yang berkaitan langsung dengan tingkat konsumsi masyarakatnya, ketimpangan juga terjadi pada akses masyarakat terhadap kebutuhan hidup dasar mereka. Sri menyebutkan, ketimpangan atas akses kebutuhan hidup ini terjadi dari air bersih, sanitasi, dan fasilitas kesehatan.

"Ada kota yang akses air bersih 100 persen seperti Banjarmasin, ada yang masih rendah seperti di daerah timur," ujarnya.

Dia merinci akses sanitasi ada yang hampir 100 persen seperti Pangkalpinang, tapi Gorontalo hanya 36 persen dan Kabupaten Asmat yang hanya 4 persen. Tenaga kesehatan yang paling tinggi di Banda Aceh 15/100 ribu, sampai yang paling rendah 1,4/100 ribu orang. "Ini menggambarkan di manapun meraka berada kita tidak merasakan Indonesia yang sama," katanya.

Bahkan, di sektor pendidikan juga terjadi ketidakmerataan kesempatan. Di Padang Sidempuan misalnya, akses masyarakat terhadap pendidikan menengah atas (SMA) mencapai 87 persen. Namun di Pegunungan Bintang, Papua akses masyarakat terhadap pendidikan formal hanya 7 persen.

"Kemiskinan dan kesenjangan tantangan kita, dan kita butuh pertumbuhan ekonomi yang inklusif," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement