Ahad 26 Feb 2017 16:37 WIB

Dampak Kisruh Freeport ke Perbankan tak Signifikan

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nur Aini
Ratusan karyawan PT Freeport Indonesia berdemonstrasi di Kantor Bupati Mimika, Papua, Jumat (17/2).
Foto: Antara/Vembri Waluyas
Ratusan karyawan PT Freeport Indonesia berdemonstrasi di Kantor Bupati Mimika, Papua, Jumat (17/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisruh kontrak PT Freeport Indonesia membuat 12 ribu karyawan dirumahkan. Kondisi itu memunculkan kekhawatiran terhadap perbankan. Hal ini karena beberapa bank membuka kantor regional di Papua yang termasuk melayani kebutuhan perbankan karyawan Freeport.

Direktur Distribusi Bank Mandiri Heri Gunardi mengatakan, sejauh ini tidak ada pengaruh pada kondisi kredit perseroan. Ia menambahkan, bila nantinya kondisi tidak kondusif, penyaluran kredit kepada karyawan Freeport kemungkinan dikurangi.

"Kalau pun nanti kondisi kurang kondusif, exposure dalam bentuk kredit kepada karyawan Freeport jumlahnya tidak signifikan. Sehingga tidak akan membuat NPL (nonperforming loan/kredit bermasalah) naik," kata Heri, kepada Republika.co.id, Ahad, (26/2).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, kasus Freeport tidak akan banyak berpengaruh pada kondisi kredit nasional. Hal itu karena jumlah kredit yang disalurkan ke Papua kecil sekali. "Bank juga nggak banyak interkoneksi di Papua. Jadi antara perbankan dan sektor di sana hubungannya masih kecil," ujarnya.

Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, memperpanjang pelaksanaan ekspor konsentrat dengan sejumlah syarat, yakni pemegang KK harus beralih operasi menjadi perusahaan IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta membuat pernyataan kesediaan membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun. Syarat lain adalah kewajiban divestasi hingga 51 persen.

Pemerintah menyodorkan perubahan status PTFI dari sebelumnya Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) agar bisa tetap melanjutkan operasi di Indonesia. Sementara itu, Freeport bersikeras tidak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan dalam Kontrak Karya 1991 silam. Lantaran tidak ingin beralih status menjadi IUPK dan bersikukuh mempertahankan status Kontrak Karya (KK), Freeport hingga saat ini menghentikan aktivitas produksi sehingga menyebabkan banyaknya karyawan yang dirumahkan dan diberhentikan.

Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan pemerintah sudah siap jika pihak PT Freeport Indonesia benar-benar membawa kasus perubahan status Kontrak Karya ke Mahkamah Arbitrase Internasional.

Gugatan ke arbitrase itu memang bisa dilakukan Freeport jika tidak menerima syarat-syarat yang diajukan pemerintah.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement